Rabu, 22 Oktober 2014





SENIN, 20 OKTOBER 2014


Mengenal Tokoh Wayang Mahabarata

Pandawa

Puntadewa 




















Raden Puntadewa adalah putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.

Secara resmi memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.

Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.

Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama Pancawala.

Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.

Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya menyentuh kalung ini makan seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara, adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.

Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya masuk. Lalu setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.



Bima 




































Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.

Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.

Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.
Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.

Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).
Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.
Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.

Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.” Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.

Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.

Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna, makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.

Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar.
Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.

Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.

Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang menyamar.

Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati, Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci.

Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.
Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.

Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah kuat.
Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.

Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya.

Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.

Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.
Akhir riwayatnya, Werkudara mati moksa bersama-sama saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi.
Wayang Bima ditampilkan dalam beberapa wanda yaitu wanda Mimis, Lintang, Lindu Panon, Lindu Bmabang, Tatit, Ketug, Jagor, Kedu, Gandu, Jagong, Bedil, Mbugis, dan Gurnat.
Arjuna









Raden Arjuna adalah putra ketiga dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu atau sering disebut dengan ksatria Panengah Pandawa. Seperti yang lainnya, Arjuna pun sesungguhnya bukan putra Pandu, namun ia adalah putra dari Dewi Kunti dan Batara Indra. Dalam kehidupan orang jawa, Arjuna adalah perlambang manusia yang berilmu tingga namun ragu dalam bertindak. Hal ini nampak jelas sekali saat ia kehilangan semangat saat akan menghadapi saudara sepupu, dan guru-gurunya di medan Kurusetra. Keburukan dari Arjuna adalah sifat sombongnya. Karena merasa tangguh dan juga tampan, pada saat mudannya ia menjadi sedikit sombong.

Arjuna memiliki dasanama sebagai berikut : Herjuna, Jahnawi, Sang Jisnu, Permadi sebagai nama Arjuna saat muda, Pamade, Panduputra dan Pandusiwi karena merupakan putra dari Pandu, Kuntadi karena punya panah pusaka, Palguna karena pandai mengukur kekuatan lawan, Danajaya karena tidak mementingkan harta, Prabu Kariti saat bertahta menjadi raja di kayangan Tejamaya setelah berhasil membunuh Prabu Niwatakaca, Margana karena dapat terbang tanpa sayap, Parta yang berarti berbudi luhur dan sentosa, Parantapa karena tekun bertapa, Kuruprawira dan Kurusatama karena ia adalah pahlawan di dalam baratayuda, Mahabahu karena memiliki tubuh kecil tetapi kekuatannya besar, Danasmara karena tidak pernah menolak cinta manapun, Gudakesa, Kritin, Kaliti, Kumbawali, Kumbayali, Kumbang Ali-Ali, Kuntiputra, Kurusreta, Anaga, Barata, Baratasatama, Jlamprong yang berarti bulu merak adalah panggilan kesayangan Werkudara untuk Arjuna, Siwil karena berjari enam adalah panggilan dari Prabu Kresna, Suparta, Wibaksu, Tohjali, Pritasuta, Pritaputra, Indratanaya dan Indraputra karena merupakan putra dari Batara Indra, dan Ciptaning dan Mintaraga adalah nama yang digunakan saat bertapa di gunung Indrakila. Arjuna sendiri berarti putih atau bening.
Pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma Arjuna dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali putranya setelah diberi wejangan oleh Batara Guru.

Sejak muda, Arjuna sudah gemar menuntut ilmu. Ia menuntut ilmu pada siapapun. Menurutnya lingkungan masyarakat adalah gudang dari ilmu. Guru-gurunya antara lain adalah Resi Drona, dari Resi Dona ia mendapat senjata ampuh yang bernama panah Cundamanik dan Arya Sengkali, yang kedua adalah Begawan Krepa, Begawan Kesawasidi, Resi Padmanaba, dan banyak pertapa sakti lainnya. Dalam kisah Mahabarata, Arjuna berguru pada Ramaparasu, namun dalam kisah pewayangan, hal tersebut hampit tidak pernah disinggung.
Dalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna memiliki lebih dari 40 orang istri namun hanya beberapa saja yang terkenal dan sering di singgung dalam pedalangan. Istri-istri Arjuna adalah sebagai berikut :
- Endang Jimambang berputra Bambang Kumaladewa dan Bambang Kumalasekti
– Dewi Palupi atau Dewi Ulupi berputra Bambang Irawan
– Dewi Wara Sumbadra berputra Raden Angkawijaya atau Raden Abimanyu.
– Dewi Srikandi tidak berputra
– Dewi Ratri berputra Bambang Wijanarka
– Dewi Dresnala berputra Bambang Wisanggeni
– Dewi Juwitaningrat berputra Bambang Senggoto yang beujud raksasa
– Endang Manuhara berputri Dewi Pregiwa dan Dewi Manuwati
– Dewi Banowati berputri Endang Pergiwati (diasuh oleh Endang Manuhara)
– Dewi Larasati berputra Bambang Sumitra dan Bambang Brantalaras
– Dewi Gandawati berputra Bambang Gandakusuma
– Endang Sabekti berputra Bambang Priyembada
– Dewi Antakawulan berputra Bambang Antakadewa
– Dewi Supraba berputra Bambang Prabakusuma
– Dewi Wilutama berputra Bambang Wilugangga
– Dewi Warsiki tidak diketahui putranya
– Dewi Surendra tidak diketahui putranya
– Dewi Gagarmayang tidak diketahui putranya
– Dewi Tunjungbiru tidak diketahui putranya
– Dewi Leng-Leng Mulat tidak diketahui putranya
– Dewi Citranggada berputra Bambang Babruwahana
– Dewi Lestari tidak berputra
– Dewi Larawangen tidak berputra
– Endang Retno Kasimpar tidak berputra
– Dewi Citrahoyi tidak berputra
– Dewi Manukhara tidak berputra

Banyaknya istri yang dimiliki Arjuna ini dalam cerita pewayangan bukanlah merupakan gambaran seseorang yang serakah istri atau mata keranjang, namun gambaran bahwa Arjuna dapat menerima dan diterima oleh semua golongan.
Ketika muda, Arjuna pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna, namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana. Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak dalam Perang Baratayuda.

Arjuna memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah Ardadali, Panah Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut :
- Aji Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang
– Aji Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak
– Aji Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air
– Aji Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran
– Aji Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh
– Aji Pengasihan : menjadi dikasihi sesama
– Aji Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir
– Aji Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang
– Aji Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang
– Aji Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa
– Aji Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara
– Aji Anima : dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat
– Aji Lakuna : menjadi ringan dan dapat melayang
– Aji Prapki : sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata
– Aji Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya.
– Aji Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan putrinya, Dewi Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.

Saat menjadi buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta mengalahkan Prabu Niwatakaca.
Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi Supraba ke tempat kediaman Prabu Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab, kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.

Arjuna lalu diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih 40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala, Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar, kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak. Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak. Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata. Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya yaitu Raden Abimanyu.
Kendati Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar, lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewi-dewi dari kayangan. Arjuna kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak memilih-milih kasih pada anak-anaknya.

Dalam perang Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan Adipati Karna.
Masih dalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi perempuan, itu adalah putri dari Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya. Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar. Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati, pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh Aswatama.
Arjuna yang sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.

Setelah penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda tersebut ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, Arjuna memiliki beberapa wanda yaitu wanda Jenggleng, wanda Yudasmara, wanda Kinanthi, dan wanda Jangkung.
Nakula






Resminya, Nakula atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun karena Prabu Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madri yang telah diajari ilmu Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang juga dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar Batara Aswan sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin.

Raden Nakula memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia.
Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama Darmagrantika.
Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan dari mertuannya Begawan Badawanganala.
Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil) dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya. Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah putih.

Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.
====

Wikipedia
Nakula (Sansekerta: नकुल, Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.
Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti “cerpelai”, atau dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa.
Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.
Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan Yudistira, yang merupakan putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putera Madri yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan perang besar tersebut.

Dalam kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang bijaksana menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di sini”. Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah Nakula mencapai kedamaian.
Nakula dalam pewayangan Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan” atau “Air kehidupan” pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
* Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
* Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.
Sadewa


Raden Sadewa atau Tangsen yang merupakan saudara kembar dari Raden Nakula adalah bungsu dari Pandawa. Ia adalah putra dari Dewi Madrim dan Batara Aswin, dewa kembar bersama Batara Aswan, ayah Nakula.
Raden Sadewa memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia. Dalam hal olah senjata, sadewa ahli dalam penggunaan pedang. Nama-nama lain dari Sadewa adalah Sudamala, dan Madraputra.
Dalam penyamaran di Negri Wirata Sadewa menjadi pengurus taman kerajaan di Wirata bernama Tantripala.
Jika Nakula tak dapat lupa akan segala hal maka, Sadewa juga memiliki ingatan yang kuat serta ahli dalam hal menganalisis sesuatu. Sadewa juga ahli dalam hal Metafisika dan dapat tahu hal yang akan terjadi. Ini diperoleh dari Ditya Sapulebu yang dikalahkannya dan menyatu dalam tubuhnya saat Pandawa membuka hutan Mertani. Selain itu, Sadewa mendapatkan wilayah Bumiretawu atau juga disebut Bawertalun.
Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati putri Begawan Badawanganala dan berputra Bambang Widapaksa. Selain itu Ia juga menikah dengan Dewi Rasawulan, putri dari Prabu Rasadewa dari kerajaan Selamiral. Menurut kabar, yang sanggup memperistri Dewi Rasawulan akan unggul dalam Baratayuda Di saat yang sama Arjuna dan Dursasana juga datang melamar, namun yang memenakan sayembara pilih itu hanyalah Sadewa karena ia sanggup menjabarkan apa arti cinta sebenarnya.
Sebelum pecah Baratayuda, ada dua raksasa penjelmaan Citraganda dan Citrasena yang bernama Kalantaka dan Kalanjaya yang datang ke Astina hendak membantu kerajaan Astina. Kedua raksasa tersebut sebenarnya hanyalah jin biasa, namun karena dikutuk oleh Batara Guru akibat mengintip Batara Guru dan Dewi Uma yang sedang mandi di telaga. Kehadiran kedua raksasa tersebut tenyata menimbulkan kegusaran dalam diri Dewi Kunti. Dewi Kunti lalu memohon pada Batari Durga agar kedua raksasa tersebut dimusnahkan. Batari Durga meminta Sadewa sebagai tumbalnya. Mendengar hal itu, Dewi Kunti tidak setuju dan kemudian kembali ke Amarta. Batari Durga kemudian menyuruk Kalika, seorang jin anak buahnya untuk menyusup kedalam tubuh Dewi Kunti. Dalam keadaan kerasukan, Dewi Kunti menyuruh sadewa sebagai tumbal dan diminta menghadap Batari Durga. Sadewa pun hanya menurut perintah ibu tirinya yang telah mengasuhnya dari kecil.
Sesampainya di hutan, Batari Durga minta diruwat oleh Sadewa menjadi putri yang cantik. Sadewa tidak sanggup melakukannya dan lalu akan dimangsa oleh Batari Durga. Sang Hyang Narada yang mengetahui hal itu lalu melaporkannya pada Batara Guru. Batara Guru lalu merasuk kedalam tubuh Sadewa dan meruwat Batari Durga. Kemudian kedua raksasa jelmaan Citraganda dan Citrasena dimusnahkan. Cerita ini dikenal dengan lakon Sudamala.
Setelah perang baratayuda selesai, Sadewa memilih menjadi patih Hastina dan juga pendamping Puntadewa. Akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan saudara-saudaranya.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, wayang Nakula dan Sadewa dibedakan oleh jamang lidi (semacam hiasan kepala) yang di tunjuk dalam gambar dibawah. Sadewa menggunakan jamang lidi sedang Nakula tidak.

Istri Pandawa

Drupadi


Dewi Drupadi atau Dewi Kresna dan dikenal pula dengan nama Pancali (Mahabharata) adalah putri sulung Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, Putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai dua orang adik kandung bernama ; Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.
Dewi Drupadi berwajah sangat cantik, luhur budinya, bijaksana,sabar, teliti dan setia. Ia selalu berbakti terhadap suaminya. Menurut pedalangan Jawa, Dewi Drupadi menikah dengan Prabu Yudhistira/Puntadewa, raja negara Amarta dan berputra Pancawala. Sedangkan menurut Mahabharata, Dewi Drupadi menikah dengan lima orang satria Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima orang putra, yaitu; 1.Partawindya dari Yudhistira. 2. Srutasoma dari Bima. 3. Srutakirti dari Arjuna 4. Srutanika dari Nakula 5. Srutawarman dari Sahadewa.
Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Drupadi mati moksa bersama-sama dengan kelima satria Pandawa setelah berakhirnya perang Bharatayuda.
Arimbi










Dewi Arimbi atau Hidimbi (Mahabharata) adalah putri kedua Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, bernama; Arimba/Hidimba, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana.
Dewi Arimbi menikah dengan Bima/Werkudara, salah seorang dari lima satria Pandawa, putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti. Dari perkawinan itu ia mempumyai seorang putra yang diberi nama Gatotkaca.
Dewi Arimbi menjadi raja negara Pringgandani, menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Arimba, yang tewas dalam peperangan melawan Bima. Namun karena ia lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti suaminya, kekuasaan negara Pringgandani diwakilkan kepada adiknya, Brajadenta sampai Gatotokaca dewasa dan diangkat menjadai raja negara Pringgandani bergelar Prabu Kacanegara.
Dewi Arimbi mempunyai kesaktian; dapat beralih rupa dari wujudnya raksasa menjadi putri cantik jelita. Ia mempunyai sifat dan perwatakan; jujur, setia, berbakti dan sangat sayang terhadap putranya. Akhir kehidupannya diceritakan, gugur di medan Perang Bharatayuda membela putranya, Gatotokaca yang gugur karena panah Kunta milik Adipati Karna, raja negara Awangga.
SUBADRA

Dewi Subadra atau Dewi Sumbadra (pedalangan Jawa), dikenal pula dengan nama Dewi Mrenges, Dewi Rara Ireng, Dewi Bratajaya dan Dewi Kendengpamali. Ia adalah putri Prabu Basudewa, raja negara Mandura dari permaisuri Dewi Rohini/Dewi Badrahini.
Dewi Sumbadra mempunyai 4 orang saudara lain ibu, yaitu; Kakrasana dan Narayana dari Dewi Mahindra/Maerah (Ped.Jawa), Kangsa, dari Ibu Dewi Mahira/Maekah – (Kangsa sebenarnya putra Dewi Mahira dengan raksasa Gorawangsa yang menyaru/beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan bermain asmara dengan Dewi Mahira), Udawa, dari ibu Ken Sagupi, seorang swaraswati Keraton Mandura.
Dewi Sumbadra diyakini sebagai titisan Bathari Sri Widowati, istri Bathara Wisnu. Ia mempunyai watak; setia, murah hati, baik budi, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun), menarik hati/merakati dan mudah tersinggung. Sumbadra menikah dengan Raden Arjuna, satria Pandawa putra Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti, dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Angkawijaya/Abimanyu. Ia tinggal di taman Banoncinawi, Kadipaten Madukara wilayah negara Amarta.
Akhir riwayatnya diceritakan, ia mati moksa bersama keluarga Pandawa setelah Parikesit, Putra Abimanyu dengan Dewi Utari, dinobatkan sebagai raja Astina menggantikan Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa.
Srikandi

Dewi Wara Srikandi adalah putri kedua Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai dua orang saudara kandung bernama; Dewi Drupadi/Dewi Kresna dan Arya Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putra.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuda, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, satria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Resi Bisma, senapati Agung balatentara Kurawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Resi Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Resi Bisma.
Akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan : Ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Astina setelah berakhirnya perang Bharatayuda.
http://wayang.wordpress.com/2006/10/27/srikandi/
Putra Pandawa
Pancawala


Gambar Raden Pancawala gaya Surakarta

RADEN PANCAWALA

Ra1en Pancawala putra Prabu Yudistira dari perkawinannya dengan Dewi Drupadi. Dia menjadi anak angkat Wrekodara. Roman mukanya mirip dengan Wrekodara.

Dalam perang Baratayuda dia dibunuh oleh Aswatama, selagi dia sedang tidur. Maka ibu Pancawala menangis karena menyesal, bahwa matinya bukan di dalam peperangan, sedangkan waktu itu perang Baratayuda sedang berlangsung.

Raden Pancawala bermata jaitan, berhidung mancung, bermuka tenang. Berambut terurai dengan bentuk gembel, dihiasi dengan garuda membelakang dan bersunting waderar. Berkalung ksatria (bulan-sabit). Berkain katongan (kerajaan).

SRENGGINI  

Srenggini adalah salah satu wayang kulit koleksi saya dan juga favorit saya,Srenggini mungkin hanya ada di Gagrag Banyumasan,disolo dan diYogya Tokoh Srenggini malah tidak ada.
Siapakah Srenggini itu berikut ceritanya :

 Pada suatu ketika saat Raden Bratasena berpisah dgn Dewi Urang Ayu ibu Antasena,Raden Werkudara mengeluarkan Air Kama/mani yg ia kibaskan ke pasir dipinggir pantai.Srenggini adalah anak keempat raden Werkudara dgn ibu Rekatawati yg berwujud Kepiting putri dari Dewa Rekatatama.

Dan ketika itu Dewi Rekatawati mencari makan tanpa sengaja meminum kama Brotoseno yang jatuh ketika bersenggama dengan Dewi Urang Ayu. Kelak kejadian ini akan melahirkan 2 ksatria yang tangguh yaitu Raden Antasena dan Raden srenggini. Raden Antasena Putra raden Brotoseno (Bima) dengan dewi Urang ayu Sedangkan Srenggini anak Brotoseno Dengan Dewi Rekatawati.


bAntasena erjalanak s tideperti layaknya manusia lain, dia berjalan dengan tangan selalu di belakang tubuh. Hal ini karena tangan Antasena sangat berat karena di tangannnya bersemayam ari-ari dan air ketubannya ( kadang papat kalima pancer) Karena itu pula dalam versi Banyumas antasena kalau berperang tidak pernah menyentuh musuhnya, tetapi hanya menggerakkan tangannya saja dan musuhnya bergerak mengikuti gerakan tangan Antasena (kaprabawan/ Di sengat setrum). Selain itu Antasena mempunyai upas ( racun) yang namanya upas Anta.


Sedangkan Srenggini Berjalan miring layaknya Kepiting ( Wayang Srenggini mirip antasena wajahnya tetapi tidak bergelung winangkara dan mempunyai Capit di kepalanya). Dia memiliki kekuatan yang namanya aji Totoksewu. bagaimana srenggini bertemu ayahnya dan benarkah Srenggini Anak haram? apa faktanya ? sabar ya tunggu tulisan berikutnya!!!!

sekian















ANTASENA

Koleksi Wayang Kulit saya berikutnya adalah Raden Antasena,wayang ini masuk dalam gagrag Solo.
Wayang ini saya beli dari Ki Kukuh Bayu Aji Banyumas.
Dan Siapa tokoh Antasena itu berikut sedikit cerita tentang Sang Raden Antasena :

Raden Antasena adalah putra ketiga  nBimasena atau WrAekodara, yaitu Pandawa nomor dua. Ia lahir dari seorang ibu bernama Dewi Urangayu putri Batara Mintuna. Bima meninggalkan Urangayu dalam keadaan mengandung ketika ia harus kembali ke negeri Indraprastha|Amarta.

Antasena lahir dan dibesarkan dalam naungan ibu dan kakeknya. Setelah dewasa ia berangkat menuju Kerajaan Amarta untuk menemui ayah kandungnya. Namun saat itu Bima dan saudara-saudaranya sedang disekap oleh sekutu Korawa yang bernama Ganggatrimuka raja Dasarsamodra.

Antasena berhasil menemukan para Pandawa dalam keadaan mati karena disekap di dalam penjara besi yang ditenggelamkan di laut. Dengan menggunakan Cupu Madusena pusaka pemberian kakeknya, Antasena berhasil menghidupkan mereka kembali. Ia juga berhasil menewaskan Ganggatrimuka.
Cerita tentang Antasena versi Wayang Kulit Banyumasan juga bagus,disini bisa kita ketahui kenapa Antasena Gagrag banyumas tangan kiri'y selalu digendong/Keple...kenapa dan bagaimana ceritanya bisa temen2 lihat di Video berikut Kisah Antasena Takon Bapa oleh Ki Dalang Kukuh Bayu Aji,Banyumas (http://www.youtube.com/watch?v=Zp7plA4g1zU&feature=share&list=PLnx-c7FWve6nvkhiAr5lFmbNzJQQvpbA3 )

Antasena kemudian menikahi sepupunya yang bernama Janakawati putri Arjuna.


Antasena digambarkan berwatak polos dan lugu, namun teguh dalam pendirian. Dalam berbicara dengan siapa pun, ia selalu menggunakan ''bahasa ngoko'' sehingga seolah-olah tidak mengenal tata krama. Namun hal ini justru menunjukkan kejujurannya di mana ia memang tidak suka dengan basa-basi duniawi.

Dalam hal kesaktian, Antasena dikisahkan sebagai putra Bima yang paling sakti. Ia mampu terbang, amblas ke dalam bumi, serta menyelam di air. Kulitnya terlindung oleh sisik udang yang membuatnya kebal terhadap segala jenis senjata.Antasena dikisahkan meninggal secara moksa bersama sepupunya, yaitu Wisanggeni putra Arjuna. Keduanya meninggal sebagai tumbal kemenangan para Pandawa menjelang meletusnya perang Baratayuda.

Ketika itu Wisanggeni dan Antasena menghadap Sanghyang Wenang, leluhur para dewa untuk meminta restu atas kemenangan Pandawa dalam menghadapi Korawa. Sanghyang Wenang menyatakan bahwa jika keduanya ikut berperang justru akan membuat pihak Pandawa kalah. Wisanggeni dan Antasena pun memutuskan untuk tidak kembali ke dunia. Keduanya kemudian menyusut sedikit-demi sedikit dan akhirnya musnah sama sekali di kahyangan Sanghyang Wenang.
begitulah sepenggal cerita dari Antasena
sekian
ANTAREJA












Wayang Kulit Antareja saya ada dua Wanda,yang Pertama Antareja Wanda Joko/Muda yang kedua Antareja Wanda Naga.
Kedua Wayang tersebut saya beli dari Ki Dalang Kukuh Bayu Aji,Pageralang Banyumas.
Adapun Cerita dan Kisah tentang siapa itu Sang Raden Antareja, berikut adalah sedikit penjelasannya :
 Antareja adalah putra sulungBimasena yang lahir dari Nagagini putriBatara Anantaboga, dewa bangsa ular. Perkawinan Bima dan Nagagini [ dalam lakon wayang ' Bale Sigolo-golo] terjadi setelah pandawa selamat dalam peristiwa terbakarnya pesanggrahan waranawata yang dibuat kurawa untuk membunuh pandawa
Bima kemudian meninggalkan Nagagini dalam keadaan mengandung. Antareja lahir dan dibesarkan oleh Nagagini sampai ketika dewasa ia memutuskan untuk mencari ayah kandungnya. Dengan bekal pusaka Napakawaca pemberian Anantaboga dan Cincin Mustikabumi pemberian Nagagini, Antareja berangkat menujuKerajaan Amarta.
Di tengah jalan Antareja menemukan mayat seorang wanita yang dimuat dalam perahu tanpa pengemudi. Dengan menggunakan Napakawaca, Antareja menghidupkan wanita tersebut, yang tidak lain adalah Subadra istri Arjuna.
Tiba-tiba muncul Gatutkaca menyerang Antareja. Gatutkaca memang sedang ditugasi untuk mengawasi mayat Subadra demi untuk menangkap pelaku pembunuhan terhadap bibinya itu. Subadra yang telah hidup kembali melerai kedua keponakannya itu dan saling memperkenalkan satu sama lain.

Antareja dan Gatutkaca gembira atas pertemuan tersebut. Kedua putra Bima itu pun bekerja sama dan akhirnya berhasil menangkap pelaku pembunuhan Subadra yang sebenarnya, yaitu Burisrawa.
Kisah kemunculan Antareja untuk pertama kalinya tersebut dalam pewayangan Jawabiasa disebut dengan judul cerita Sumbadra Larung.

Antareja memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulitnapakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan di dalam bumi. 

Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.
Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai Tumbal (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.


demikian tentang Antareja

sekian

GATHOTKACA











 Gathotkaca sendiri mempunyai banyak cerita diantaranya saat kelahirannya,saat dinobatkan jadi raja Pringgandani dan masih banyak lagi.
Biasanya dalam Seni Pewayangan ada lakon Banjaran Gathotkaca,yaitu cerita tentang awal kisah Sang Gathotkaca hingga Gugurnya.
Berikut ini adalah kisah BANJARAN GATHOTKACA :

Kisah ini diawali dengan kelahiran Gathotkaca yang merupakan putra Bima (Werkudara) dengan Dewi Arimbi, dewi Arimbi sendiri sebenarnya adalah putri raksasa/buta yang didandani oleh Dewi Kunthi sehingga menjelma menjadi perempuan cantik . Gathotkaca kecil diberi nama Tetuko oleh kakeknya, ada keganjilan dalam kelahirannya, yaitu tali pusarnya tidak bisa dipotong dengan alat apapun. Ternyata diketahui tali pusar Gathotkaca baru bisa diputus oleh Pusaka Kuntha. Batara Narada yang bertugas mengantar senjata ini ke Raden Arjuna (Paman Gathotkaca) malah mengantarnya ke Raden Karna karena kemiripan muka mereka. Karna merupakan saudara seibu arjuna yang karena takdir berada di pihak Kurawa, akhirnya terjadi pertarungan memperebutkan senjata Kuntha yang dimenangkan oleh Raden Karna. Arjuna hanya mendapatkan warangka/sarung senjata Kuntha. Karena warangkanya juga merupakan senjata ampuh maka tali pusar tetoku bisa putus juga, dan ajaibnya warangkanya menghilang, menyatu kedalam tubuh Tetuko. 

Batara guru memerintahkan Tetuko dibawa ke khayangan yang sedang dilanda peperangan dengan raja setan Kolopracono, bayi Gathotkaca yang masih merah dikirim ke medan pertempuran untuk melawan senopati musuh, ajaibnya meskipun ditusuk, digigit, dan dibanting, Bayi Gathotkaca tidak mengalami luka sedikitpun, senopati kolopracono yang marah protes ke Batara Guru bahwa bayi merah ini bukan lawan sepadan untuknya. Batara Guru pun berpikir kemudian bayi Gathotkaca yang masih merah dicemplungkan ke Kawah Candradimuka beserta pusaka/senjata seluruh dewa-dewa khayangan. Akhirnya keluarlah ksatria muda gagah perkosa eh perkasa dengan otot kawat balung wesi kulit waja sikut pethel garis linggis anu ceret (cuman mengkopas omongannya Ki Purbo  yang kemudian ditandingkan dan mengalahkan senopatinya kolopracono bahkan si kolopracono sendiri. Akhirnya khayangan menjadi pemenang peperangan good vs evil.
Cerita di fast forward sampai ke kisah percintaan 


Gathotkaca-Dewi Pergiwa dimana dewi Pergiwa merupakan sepupu Gathotkaca, anak dari Arjuna. Ternyata, Lesmana Mandrakumara anak prabu Duryudana yang meskipun putra mahkota tidak memiliki kesaktian apapun juga jatuh cinta kepada Pergiwa dan mengadu ke Patih Sengkuni. Sengkuni pun menyusun tipu muslihat bersama Guru Arjuna menemui Arjuna dan mengatakan pernikahan antar sepupu itu tidak baik, selain itu sengkuni juga menggunakan hitung2an weton (hari kelahiran) rumit yang kesimpulannya jika Gathotkaca-Dewi Pergiwa menikah akan berakhir malapetaka. Pernikahan Gathotkaca-Dewi Pergiwa yang sudah dirancang pun dibatalkan. Ini meremukkan hati Gathotkaca, yang memasuki fase galau, minggat dari rumah, bahkan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara terbang tinggi terus menukik membenturkan kepala ke gunung, tapi gunungnya yang retak 


Akhirnya Gathotkaca mendapat petuah, kalau memang kau cinta ya perjuangkan, kalau gak bisa lewat jalan depan ya lewat jalan belakang. Akhirnya Gathotkaca menemui Pergiwa di kediaman Arjuna melalui jalan belakang dan diketahuilah bahwa Pergiwa juga mencintainya dan sedih karena dijodohkan dengan Lesmana Mandrakumara. Akhirnya diculiklah Dewi Pergiwa yang menimbulkan kemarahan Arjuna, Arjuna mengadu ke Werkudara kakaknya, Werkudara marah, tapi memberikan respon yang setengah jumawa karena tau bahwa mereka berdua saling mencinta. Akhirnya terjadilah pertarungan, tepatnya pemukulan satu pihak Arjuna terhadap Gathotkaca yang pada akhirnya Arjuna menyadari Gathotkaca-Dewi Pergiwa saling mencinta dan akhirnya memberikan restunya.


Kisah ini diakhiri dengan Perang Bharatayudha dimana Gathotkaca menjadi panglima perang Pandawa. Di medan pertempuran dia melawan Raden Karna yang masih terhitung pamannya. Gathotkaca bertarung dengan hebat tanpa ada yang bisa menghentikan. Akhirnya Karna dibujuk oleh pihak kurawa untuk melepaskan senjata Kunthawijaya yang takdirnya musti menyatu dengan warangka/sarungnya, awalnya Karna menolak, tapi karena kurawa terdesak akhirnya dilepaskanlah Senjata Kuntha yang mengejar warangkanya yang menyatu dengan tubuh Gathotkaca. Gathotkaca yang mencoba terbang menghindar dikejar tanpa ampun oleh senjata Kuntha untuk menepati takdir ” Pusaka manjing warangka”. Gathotkaca gugur dengan tragis di medan perang untuk membela Keluarganya dan membela kebenaran.


WISANGGENI




Wisanggeni berarti bisanya api. berasal dari wisa = bisa dan geni = api. Tak peduli siapapun pasti dibakarnya. Musuh atau sodara, teman atau tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya.

Kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.

Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.
Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.
Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.
Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi).
=====
Syahdan lahirlah Bambang Wisanggeni di pertapaan Kendalisada, tempat Resi Mayangkara…
Dia berwajah tampan dan digariskan berwatak sahaja.
Lalu, bagaimanakah isi hati Wisanggeni? yang kelahirannya dituding menyelahi kodrat, sehingga Bethara Brama, sang kakek pun tega hendak mengambil nyawa nya.
Siapakah yang hendak dipersalahkan? Apakah ibu Dresanala? Perempuan dewi yang semata-mata memberi penghargaan tinggi kepada hidup jabang bayi Wisanggeni, sehingga bersikukuh menolak untuk menggugurkan kandungannya. Ataukah Sang Mintaraga atau Arjuna yang menanam benih di rahim ketujuh Dewi Kahyangan sebagai anugerah dari Sang Hyang Manikmaya, karena jasanya membebaskan kahyangan dari Prabu Winatakaca yang menginginkan Dewi Supraba?
Tiada yang berani menghakimi, namun bentuk kesalahan kodrat itulah yang harus dibinasakan, meski akhirnya gagal karena Wisanggengi dalam lindungan Sang Hyang Wenang.
Barangkali luka di hati yang tetap berakar menjadi energi yang menjadikannya satria berkemampuan luar biasa. Di bawah asuhan Sang Hyang Antaboga dan Bethara Baruna, Wisanggeni sanggup terbang layaknya Gatutkaca, ambles bumi seperti Antareja, dan berkubang tenang di lautan menandingi Antasena.
Satria Pandhawa yang mempunyai sifat mungkak kromo atau tidak mau berbahasa halus pada siapapun termasuk pada Sang Bethara Guru ini tiada tandingan dan tiada yang mampu melawan. Seringkali dicap sebagai “wong edan” karena tak mempan senjata apapun di dunia ini. Barangkali karena itulah, kematiannya dikehendaki seluruh dewa-dewa di kahyangan, dimana tekad baja dan semangat kekuatan luar biasanya kelak akan dapat membinasakan Pandhawa yang menang atas Kurawa.
Meski ia termasuk golongan weruh sakdurunge winarah (mampu melihat sebelum terjadi), tetap juga Wisanggeni menjalani takdirnya kemudian: Menjadi tumbal kemenangan Pandhawa. Sang satria Wisanggeni mati di tangan Bala Kurawa dengan legowo.
Entah semiris apa kidung Megatruh yang ditiupkan saat Wisanggeni meregang nyawa, memenuhi permintaan para dewa di kaendran Jonggring Saloka yang dititahkan pada Kresna, sebagai prasyarat kemenangan Pandhawa. Jasadnya moksa sesuai kehendak Sang Hyang Wenang.
Kahyangan Daksinapati tempat Dewi Dresanala mengasuh dan membuai Wisanggeni menangis.. menangis.. meratapi takdir yang pada akhirnya tetap terjadi…
======
Wisanggeni adalah anak dari arjuna dengan dewi dresnala. sejak lahir merupakan simbol perlawanan terhadap kebhatilan. berani menentang keputusan bhatara guru yang terkadang dipengaruhi oleh dewi durga sehingga sering merugikan pandawa. sebelum datangnya wisanggeni yang sering protes ke langit jika pandawa di buat cilaka oleh dewata adalah aki semar.
Setelah wisanggeni lahir maka wisanggenilah yang sering menggebuk para dewa jika mereka melakukan kesalahan dan ketak adilan pada para pandawa. wisanggeni memiliki kewaskitaan yang sama dengan sri kresna. di gagrak wayang banyumas sering yang menyelesaikan masalah anak anak pandawa bukan sri rkesna tapi wisanggeni. disini digambarkan wisanggeni adalah gabungan sipat sipat yang luar biasa, cerdas, mengetahui masa depan, sakti seperti dewa, tapi ngoko dan tak berbahasa halus walo dialeganya halus (disini bedanya wisanggeni dengan antasena, sama sama ngoko tapi dialeg antasena kasar, sementara dialeh wisanggeni halus), dan juga wisanggeni itu pandai berdiplomatik dan tak cepet naik darah, bisa mengikuti strategi yg dibuatnya sehingga sering dijadikan pemimpin oleh anak anak pandawa.
Wisanggeni sangat sakti, bhatara guru saja kalah oleh wisanggeni. dalam cerita kelahiran wisanggeni bhatara guru sampe lari ke dunia karena di kayangan semua dewa di buat babak belur oleh wisanggeni. wisanggeni lahir dan besar seketika di tengah api kawah candradimuka. dan langsung dimomong oleh aki semar badranaya.
Kematianya?nah ini dia. ada yg bilang wisanggeni di masukan alam jin. yang pernah saya liat lakonya adalah. wisanggeni dan antasena di jadikan wiji kembali oleh hyang bhatara wenang. sebagai bentuk wujud bhakti untuk kemenangan pandawa.
======
Pemuda tampan berambut lurus…….
Mengapa kau sembunyikan tampan wajahmu dalam caping besar…?
Mengapa kau sembunyikan gagah tubuhmu dalam kasut lusuh…?)
Wisanggeni ….., begitulah nama yang diberikan Sri Kresna
Dia telah dilahirkan….. Tangis pertamanya mengguntur bergulung – gulung menembus keheningan langit dan gunung
Menghentak ketentraman, mencabut kemapanan jagat seolah tak terbendung
Duh jabang memerah……sungguh tampan tiada terkira…..
Terlahir dari rahim Dewi Dresanala sang Dewi dari Khayangan
Dalam peluk perlindungan Hanoman raja segala kera.
Tidak dalam peluk Ayahanda tercinta, Arjuna putra Pandawa…
Ditiup ubun-ubun dengan mantra sakti Hanoman sebagai pelindung jiwa
Kekuatan mahasakti mana lagikah yang mampu menembus mantra pelindung….?
Mengambil wisanggeni dalam lelap tidur berselimut daun talas
Kemana si Jabang bayi lenyap …..?, dibawa lari cahaya putih dalam sekejap….
Tak terbayang maha kemarahan Hanoman…..
Diatas keluasan samudera…,
Batara Brama dalam gundah gulana……
Betapa berat tugas yang diemban…
Menghilangkan Wisanggeni dari peradaban…
”Duh Batara Guru….., tak mengertikah….,tolakan jiwa yang ada…..?”
”Duh batara Guru……, tak mengertikan…., Wisanggeni adalah cucu dicinta…..?”
Lalu…dengan berkaca kaca….
Dilepas jabang memerah dari atas langit samudera….
”Keluarlah dari peradaban..lenyaplah dari simpangan kodrat…., Biarlah samudera luas menjadi kubur bagimu cucuku…..”
Sungguh..
Sebagai titisan Sang Hyang Wenang…….
Samuderapun seolah menyingkap…., dan batara baruna penguasa semua lautan menangkap….
Wisanggeni tumbuh dalam bimbingan Batara baruna dan Antaboga (raja segala ular)
Pemuda tampan berambut lurus……
Mengapa kau sembunyikan wajah tampanmu dalam caping besar…?
Mengapa kau sembunykan gagah tubuhmu dalam kasut lusuh..?
Dan hari harimu adalah pelarian….., pertempuran….., perlawanan…..diburu dan terus diburu……..
Seperti air yang mengalir tak berhenti…, datang berulang berganti ganti….
Begitu sabda Batara Guru…..
Yang menyalahi kodrat merusak tatanan
yang menyalahi kodrat harus ditiadakan
Betapa lelah………
Duh batara jagat dewata……
Mengapakah aku harus ditiadakan, atas kodrat yang tidak pernah aku pilih…?
Sungguh Wisanggeni tak mengerti. …
Ber Ayah Arjuna manusia, beribu Dewi Darsanala dari Sang Hyang jagat Dewa dewi…
Lantaran Sang Manusia dan Dewi…., tak sepantasnya berlahir Anak.
Pakem yang menyinggung harkat tertinggi kemanusiaan Arjuna….
Justru dibiarkanya Sang Dewi Hamil dan dibawa lari turun ke alam manusia….
Sungguh bukan mau Wisanggeni terlahir menyalahi kodrat…
Sungguh bukan mau Wisanggeni membalik tatanan…
Sungguh tak Mengerti, jika Wisanggeni harus ditiadakan….
Lalu kenapakah Sang batara Guru, menghadirkan Dewi Dresanala dalam sisian hidup Arjuna…?
Apakah karena Arjuna telah mengalahkan

an Raksasa Niwatakacana yang mengobrak obrik Khayangan karena menginginkan Dewi Supraba..?.
Tapi Mengapakah Hanya boleh Bersanding namun tidak boleh bertalian……
Duh Biyung…….., dalam lelah setiap pertempuranya..
Selalu Wisanggeni tak mengerti…….
Kenapa Putera Arjuna ini selalu diburu…dan diburu oleh para Utusan Dewa.
Sungguh bukankah Dewa adalah pengatur dan pelindung segala….
Siapakah yang membuat kodrat …. dan siapakah yang menyalahi kodrat..?
(Pada Akhir cerita……., Wisanggeni…mati bersama sang Antasena menjadi tumbal untuk kemengan Pandawa dalam perang Bharatayudha…..
Dalam pewayangan Wisanggeni adalah maha kesaktian, bisa terbang laksana Gatotkaca, menembus bumi laksana Antareja, dan hidup di lautan laksana Antasena…..)



 Bambang Irawan








Bambang Irawan adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Ulupi, putri Bagawan Kanwa (Bagawan Jayawilapa-pedalangan Jawa), dari pertapaan Yasarata. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabukusuma, Wijanarka, Antakadena dan Bambang Sumbada.
Irawan lahir di pertapaan Yasarata dan sejak kecil tinggal di pertapaan bersama ibu dan kakeknya. Ia berwatak tenang, jatmika, tekun dan wingit. Menurut kisah pedalangan Irawan tewas dalam peperangan melawan Ditya Kalasrenggi putra Prabu Jatagempol dengan Dewi Jatagini dari negara Gowabarong, menjelang pecah perang Bharatayuda. Sedangkan menurut Mahabharata, Irawan gugur dalam awal perang Bharatayuda melawan Ditya Kalaseringgi, raja negara Gowabarong yang berperang di pihak keluarga Kurawa/Astina.
 Bambang Prabakusuma

Bambang Prabakusuma di dalam pedalangan Jawa disebut dengan nama Bambang Priyambada. Ia adalah putra Arjuna, satria Pandawa putra Prabu Pandu, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti, dengan Dewi Supraba, putri Bathara Indra. Prabakusuma lahir di Kahyangan Kainderan saat Arjuna menjadi raja di Suralaya bergelar Prabu Kariti sebagai anugerah Sanghyang Jagadnata/Sanghyang Manikmaya atas jasanya membunuh Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manikmantaka.
Prabakusuma mempunyai sifat dan perwatakan; halus, tenang, jatmika, baik tingkah lakunya, besar tanggung jawabnya, juga ahli dalam ilmu pengobatan. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilugangga, Bambang Irawan, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Wijarnaka, Antakawulan dan Bambang Sumbada.
Prabakusuma pernah menjadi penyelamat keluarga Pandawa. Ia berhasil merebut kembali pusaka Jamus Kalimasada dari tangan si pencuri, Dewi Mustakaweni, putri Prabu Niwatakawaca dari negara Manikmantaka, Dewi Mustakaweni kemudian menjadi istri Prabakusuma.
Akhir riwayatnya diceritakan, Prabakusuma gugur pada awal perang Bharatayuda bersama-sama dengan Sumitra, Wilugangga, Wijanarka dan Antakadewa saat melawan Resi Bisma.
Sumitra

Bambang Sumitra adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Rarasati/Larasati, putri Arya Prabu Rukma/Prabu Bismaka, raja negara Kumbina dengan Ken Sagupi dari padepokan Widarakandang. Ia mempunyai 13 (tiga belas) orang saudara lain ibu, yaitu; Abimanyu, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wilugangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijarnaka, Antakadewa dan Bambang Sumbada.
Bambang Sumitra ikut pula terjun ke medan perang Bharatayuda. Bersama-sama dengan Prabakusuma, Wilungangga, Wijanarka dan Antakadewa, gugur di medan peperangan melawan Resi Bisma.
Pregiwa & pregiwati



Endang Pergiwa adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Manuhara, putri Bagawan Sidik Wacana dari pertapaan Andong Sumiwi. Ia mempunyai saudara kandung yang merupakan adik kembarnya bernama Endang Pregiwati. Pregiwa juga mempunyai 12 orang saudara lain ibu bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wilugangga, Prabakusuma, Wijarnaka, Antakadewa dan Bambang Sumbada.
Sejak kecil Pregiwa dan adik kandungnya, Pregiwati tinggal di pertapaan Andong Sumiwi bersama ibu dan kakeknya. Baru setelah remaja, ia dan Pregiwati meninggalkan pertapaan pergi ke Mandukara untuk mencari ayahnya, Arjuna.
Pregiwa memiliki sifat dan perwatakan; setia, baik budi, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun). Pregiwa menikah dengan Raden Gatotkaca, raja negara Pringgondani, putra Bima dengan Dewi Arimbi, yang berarti masih saudara sepupunya sendiri. Dari perkawinan tersebut, ia mempunyai seorang putra yang diberi nama Arya Sasikirana.
Endang Pergiwati adalah putri Arjuna, putra Prabu Pandu raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti, dengan Dewi Manuhara, putri Bagawan Sidik Wacana dari pertapaan Andong Sumiwi. Ia mempunyai saudara kandung yang merupakan kakak kembarnya bernama Endang Pregiwa. Pregiwati juga mempunyai 12 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wilugangga, Prabakusuma, Wijanarka, Antakadewa dan Bambang Sumbada.
Sejak kecil Endang Pregiwati dan kakaknya, Pregiwa tinggal di pertapaan Andong Sumiwi bersama ibu dan kakeknya. Baru setelah remaja ia dan Pregiwa pergi ke Madukara untuk menemui ayahnya, Arjuna.
Pregiwati memiliki sifat dan perwatakan; setia, jujur, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun), menarik hati/merakati dan mudah tersinggung. Pregiwati menikah dengan Raden Pancawala, putra Prabu Puntadewa, raja negara Amarta dengan Dewi Drupadi yang berarti masih saudara sepupu sendiri.
Abimanyu

Abimanyu (Sansekerta: abhiman’yu) adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai ksatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.

Arti nama
Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan”.
Kelahiran, pendidikan, dan pertempuran
Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Kematian Abimanyu
Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.



Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Arjuna membalas dendam
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.

Penjelasan mengenai kematiannya
Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai ksatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.
Abimanyu dalam pewayangan Jawa
Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.
Riwayat
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.
Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki.
Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa.
Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi,
Dewi Uttari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit.
Bharatayuddha
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh ksatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya “arang kranjang” (banyak sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha, padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.

SLOKA mengisahkan kematian Abimanyu
Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama
Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çirṇa ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. Ḍang Hyang Droṇa Krəpāpulih karaṇa Sang Kurupati malayū marīnusi.
Ṇda tan dwālwang i çatru çakti mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta kəna tan panguḍili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana.
Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir ḍaḍa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir ỵaçānggətəm atễn pəjaha makiwuling Suyodhana.
Ri pati Sang Abhimanyu ring raṇāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi sahantimun ginintən.
Terjemahan :
Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Lakshmanakumara, yang disayangi Suyodhana.
Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.
Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.

Putu Pandawa

PANCAKUSUMA




Pancakusuma adalah putra tunggal Dyan Pancawala dengan Dewi Pregiwati, putri Arjuna dan sepupu dari Drestraka, putra Drestradrumnya. Sejak kecil, Pancakusuma dididik oleh ayahnya dan neneknya, Dewi Pregiwati. Pancakusuma dididik menjadi ksatria yang pemberani, kalem dan jujur seperti ayahnya dan kakeknya. Pancakusuma dilatih bermain tombak di Universitas Sokalima milik Pandhita Drona. Ketika Bharatayudha berlangsung, Pancakusuma masih bersekolah di Sokalima dan tidak diperkenankan ikut Bharatayudha.

Setelah lulus dari Sokalima dan Bharatayudha selesai, Pancakusuma berkenalan dengan Kertiwindhu, putra Jayadrata dengan Dewi Dursilawati dan dihasut untuk memusuhi Drestraka & Parikesit, yang dianggap saingan terberat untuk menjadi pewaris takhta di Astinapura. Ketegangan makin memuncak dan Pancakusuma nyaris ber-tiwikrama menjadi Dewa Amral dengan bantuan gelang ajaib warisan Puntadewa, kakeknya. Ditengah ketegangan tersebut, Puntadewa yang sudah renta & Semar datang menghampiri Pancakusuma untuk memberikan pencerahan. Ditengah pencerahan tersebut, Semar membuka jatidiri-nya didepan Parikesit, Pancakusuma, Drestraka & Kertiwindhu. Untuk mencegah perang saudara, Puntadewa kemudian memutuskan bahwa Parikesit tetap menjadi pewaris takhta Astinapura, Drestraka menjadi pewaris takhta Amartapura & Pancakusuma menjadi pewaris takhta Pancala. Pelantikan Pancakusuma menjadi raja Pancala bersamaan dengan pelantikan Parikesit sebagai raja Astinapura dan Drestraka sebagai raja Amartapura.

Dalam pelantikan tersebut, Kertiwindhu yang gagal mengadu domba Parikesit dengan Pancakusuma kemudian mengacaukan acara pelantikan Parikesit menjadi raja Astinapura. Kertiwindhu mengajak Dahyang Suwela, putra Aswatama, Dursa Subala, anak bungsu Dursasana dengan Dewi Sultani dan Sasrawindu, putra Kangsadewa. Upaya teror tersebut berhasil dicegah oleh Danurwenda, putra Antareja, Jayasena, putra Antasena, Sisikirana, putra Gatotkaca dengan Endang Pregiwa, dan Raden Sanga-sanga, putra Setyaki. Kertiwindhu dan Dahyang Suwela tewas dalam operasi anti-teror yang dilakukan oleh Danurwenda ke Negara bagian Banakeling di wilayah Dataran Tinggi Sindhu dan Wilayah Administratif Sokalima.

Belum diketahui siapa istri dan keturunan Pancakusuma setelah era Madya di Pewayangan berakhir. Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa dan tidak ada di serial Mahabharata

SASIKIRANA/SISIKIRANA

Sasikirana atau Sisikirana adalah putra Gatotkaca dengan Dewi Pregiwati dan kakak se-ayah dari Suryakaca atau Bambang Kaca dan Jayasumpena. Wajah, sifat & postur tubuh Sasikirana mirip dengan ayahnya. Nama Sasikirana berarti, “Bulan yang terang”

Sasikirana lahir bersamaan dengan lahirnya Parikesit. Ketika Bharatayudha berlangsung, Sasikirana tinggal bersama ibunya di istana Pringgondani bersama Suryakaca yang masih balita dan Jayasumpena yang masih bayi. Setelah ayahnya gugur di Bharatayudha, Sasikirana mulai memasuki masa pubertas dan diangkat menjadi putra mahkota Pringgondani. Pengangkatan Sasikirana mendapatkan tentangan dari Wesi Aji yang merasa lebih berhak atas takhta Pringgondani. Setelah penguburan ayahnya, Sasikirana dididik ilmu militer, pemerintahan dan agama oleh Patih Gagakbongkol. Selain itu, Sasikirana mewarisi kemampuan terbang secara genetik dari ayahnya dan dilatih terbang oleh Garudha Wildata. Sejak kecil, Sasikirana dekat dengan Parikesit karena hubungan keluarga yang dekat antara kedua ayah mereka.

Setelah Parikesit dilantik menjadi raja Astinapura oleh Resi Curiganata, Sasikirana diangkat menjadi adipati Pringgondani oleh Pancakusuma, raja Amartapura di era Madya. Selama menjabat sebagai adipati Pringgondani, Sasikirana sering mendapatkan gangguan keamanan dari militan pemberontak pimpinan Wesi Aji & Prabu Waskita yang bergabung dengan Kertiwindhu. Mengetahui Wesi Aji & Prabu Waskita sudah bergabung dengan Kertiwindhu, Parikesit meminta tolong Sasikirana untuk menangkap kedua orang tersebut untuk diadili di Yawastina. Setelah mendapatkan ijin dari Prabu Pancakusuma, Sasikirana mengerahkan pasukan elit AU Amartapura yang ber-markas di Pringgondani untuk mencari dan menangkap kedua orang tersebut. Setelah mengetahui markas Wesi Aji dan Prabu Waskita, Sasikirana kemudian menyergapnya, namun terjadi perlawanan oleh Wesi Aji dan akhirnya Sasikirana harus membunuhnya dengan gada warisan ayahnya.

Setelah meredam pemberontakan yang dipimpin oleh Kertiwindhu, Sasikirana membantu adiknya, Suryakaca untuk mendirikan AU Astinapura. Untuk menjaga keamanan Bharatawarsa, Sasikirana bekerjasama dengan kedua adiknya yaitu Suryakaca dan Jayasumpena, Danurwenda, putra Antareja dan Jayasena, putra Antasena. Sasikirana akhirnya wafat di usia tua dan memasuki masa Madya akhir. Tidak diketahui siapa istri dan anak Sasikirana.

Dalam budaya populer, nama Sasikirana sering digunakan untuk menamai bayi yang baru lahir dan dijadikan nama untuk sanggar kesenian.

NB'''Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa dan tidak ada di serial Mahabharata.


SURYAKACA/BAMBANG KACA


Suryakaca adalah putra Gatotkaca dengan Dewi Suryawati dan saudara se-ayah dari Sasikirana dan Jayasumpena. Suryakaca merupakan putra Gatotkaca paling pintar. Suryakaca tidak memakai prada karena dia bukanlah raja atau adipati. Nama Suryakaca berarti, "Ksatria Matahari".

Suryakaca lahir ketika memasuki Bharatayudha dan diasuh oleh ibunya di istana ksatrian Pringgondani, bersama dengan Sasikirana & Jayasumpena. Setelah Gatotkaca gugur, Suryakaca mendapatkan warisan berupa Kotang Antakusuma, Caping Basunanda, Kasutpada Wacakra dan Sumping Suket Kulanjana. Selain itu, Suryakaca juga mewarisi semua senjata yang melekat di tubuh ayahnya. Ketika menginjak masa remaja, Suryakaca dilatih militer, agama dan tata negara bersama dengan Sasikirana dan Jayasumpena. Ketika sudah cukup umur, Bathara Anggajali turun ke Arcapada untuk memasangkan semua senjata dan pusaka Gatotkaca ke tubuh Suryakaca. Setelah semua pusaka dan senjata terpasang, Suryakaca mulai belajar terbang bersama Sasikirana.

Setelah Parikesit ber-takhta di Yawastina, Suryakaca diangkat menjadi senapati AU Yawastina dan menampung semua Garudha yang mengungsi dari wilayah Trajutrisna yang tenggelam bersama Dwarawati. Untuk membantu melatih pasukan, Suryakaca meminta bantuan Sasikirana, saudaranya. Setelah pasukan AU Yawastina terbentuk, Suryakaca memimpin pasukan untuk mengejar dan menangkap Dursa Subala yang berkomplot dengan Kertiwindhu & Dahyang Suwela. Dalam penggerebekan tersebut, Dursa Subala tewas setelah terjatuh dari ketinggian ketika berusaha melepaskan genggaman tangan Suryakaca yang akan membawanya ke ibukota Yawastina.

Setelah berhasil meredam pemberontakan pimpinan Kertiwindhu, Suryakaca bekerjasama untuk menjaga Bharatawarsa dari ancaman, bersama dengan Sasikirana, Jayasumpena, Danurwenda dan Jayasena. Kisah akhir hidup Suryakaca tidak disebutkan dan kemungkinan besar wafat dalam usia tua ketika era Madya akhir. Tidak diketahui siapa istri dan anak Suryakaca.

Dalam Wayang Golek Madya, Suryakaca dikenal dengan nama Bambang Kaca.

Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa dan tidak ada di serial Mahabharata

JAYASUMPENA


Jayasumpena adalah putra bungsu Gatotkaca dengan Dewi Sumpenawati dan saudara se-ayah dari Sasikirana dan Suryakaca. Diantara saudaranya yang lain, Jayasumpena memiliki postur yang tinggi besar seperti kakeknya, Bima. Namun dibalik perawakannya yang seperti raksasa, Jayasumpena memiliki hati yang baik dan tahu tata krama

Sejak kecil, Jayasumpena dibesarkan di Pertapaan Pringcendani yang berada di pusat ibukota Pringgondani. Ketika Bharatayudha berlangsung, usia Jayasumpena masih belum pubertas sehingga dilarang ikut perang oleh ayahnya. Setelah Bharatayudha berakhir dan diiringi gugurnya sang ayah, Jayasumpena tidak mewarisi apapundari ayahnya tapi dia mendapatkan warisan dari kakeknya berupa ajian Bandung Bandawasa, Blabak Pangantol-ngantol dan Wungkal Bener. Selain itu, Jayasumpena diberikan ajian Chandrawirayang oleh para dewa. Selama tinggal di pertapaan Pringcendani, Jayasumpena belajar agama, ilmu militer, beladiri dan ilmu politik. Suatu saat, Jayasumpena pernah menguji ajian Chandrawirayang dengan menantang Suryakaca untuk berduel. Dalam duel tersebut, Jayasumpena berhasil menaklukan Suryakaca dan akhirnya dipisah oleh Sasikirana. Melihat hal tersebut, Parikesit kemudian mengangkat Jayasumpena sebagai senapati AD Yawastina.

Setelah diangkat menjadi senapati AD Yawastina, Jayasumpena ditugaskan oleh Parikesit untuk merebut kota-kota yang dikuasai militan pemberontak pimpinan Kertiwindhu. Dalam operasi gabungan beberapa kerajaan tersebut, Jayasumpena menugaskan pasukannya untuk melakukan serangan darat dibantu oleh serangan udara dari Suryakaca dan Sasikirana bersama pasukan Garudha masing-masing. Pemberontakan itu berhasil diredam dan dipecah, serta pemimpinnya berhasil dibunuh karena berusaha melawan saat akan ditangkap.

Setelah menghancurkan pemberontakan, Jayasumpena kemudian menjalin kerjasama dengan Danurwenda, putra Antareja dan senapati AD Amartapura. Mereka sering mengadakan latihan militer dan patroli perbatasan bersama. Jayasumpena akhirnya wafat di usia tua dan belum diketahui siapa anak & istrinya.

Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa dan tidak ada di serial Mahabharata.

JAYASENA





Jayasena adalah putra Antasena dengan Dewi Janakawati. Wajah Jayasena mirip dengan ayahnya, sedangkan postur badanya mirip dengan kakeknya. Dalam versi lain, Jayasena adalah salah putra Antareja karena Antasena dan Antareja adalah sosok yang sama.

Sejak kecil, Jayasena dibesarkan dan diasuh oleh ibunya di istana Sapta Baruna. Jayasena memiliki sisik udang yang membuatnya tahan terhadapp senjata apapun yang merupakan warisan genetik dari ayahnya. Ketika Bharatayudha berlangsung, Jayasena tidak ikut karena belum cukup umur. Setelah ayahnya moksa dan Bharatayudha berakhir, Jayasena ditunjuk oleh Prabu Puntadewa untuk menjadi adipati Magadha. Penunjukan itu dikarenakan Jayasena memiliki kebijaksanaan dan kecerdasan seperti ayahnya. Selain itu, Jayasena mewarisi Cupu Tirta Amerta dari ayahnya dan kemampuan menyelam di lautan.

Ketika memasuki era Madya, Jayasena kemudian dimutasi dan ditempatkan di Sapta Baruna sebagai senapati AL Amartapura oleh Prabu Pancakusuma. Dalam operasi melawan pemberontak pimpinan Kertiwindhu, Jayasena dan pasukan marinir Amartapura ditugaskan untuk merebut Pelabuhan Plasajenar di utara Yawastina yang dikuasai oleh militan pimpinan Antisura, anak Sengkuni. Dalam operasi tersebut, Antisura tewas tenggelam ketika berusaha melarikan diri dari sergapan Jayasena yang berusaha menangkapnya. Setelah kematian Antisura, perlahan-lahan Pemberontakan anti-Parikesit di pesisir utara Yawastina menghilang. Untuk menjaga pesisir utara Yawastina, Jayasena menempatkan Pangkalan AL di Plasajenar dan Liman Sembada, putra Udawa dengan Dewi Antiwati diangkat menjadi adipati Plasajenar. Untuk pengamanan wilayah laut, Jayasena juga mengerahkan kapal perang ke Plasajenar untuk menambah armada AL Astinapura pimpinan Raden Sanga-sanga.

Jayasena wafat di usia tua, ketika memasuki masa Madya akhir dan tidak diketahui siapa istri dan anak Jayasena. Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa

ARYA DANURWENDA



Arya Danurwenda adalah putra Antareja dengan Dewi Ganggi dan saudara se-ayah dari Puspadenta. Perawakan dan wajah Danurwenda mirip ayahnya dan bisa berbahasa sopan kepada orang yang lebih tua. 

Sejak kecil, Danurwenda diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakek buyutnya di Kahyangan Saptapratala. Walau sering bergaul dengan bangsa Naga di Kahyangan Saptapratala tapi Danurwenda tidakmemiliki masalah untuk ber-sosialisasi dengan manusia normal. Setelah ayahnya moksa dan Bharatayudha berakhir, Danurwenda mewarisi ajian Ambles Bumi dan Cincin Mustikabumi dari ayahnya. Selain itu, Danurwenda memiliki kulit keras yang tahan dari serangan beragam senjata yang merupakan warisan genetik dari ayahnya.

Arya Danurwenda menikah dengan Dewi Kadriti, cucu Prabu Kurandageni dari negara Tirtakandasan. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Nagapratala. Danurwenda tidak bersedia menjadi adipati Jangkarbumi, tetapi ia memilih menjadi senapati Amartapura di bawah pemerintahan Prabu Pancakusuma. Ksatrian Jangkarbumi diserahkan kepada putranya, Nagapratala. Di versi lain, Danurwenda menjadi senapati Yawastina dibawah Parikesit

Setelah diangkat menjadi senapati AD Amartapura, tugas Danurwenda yang pertama adalah membantu Jayasumpena dan menangkap Kertiwindhu & Dahyang Suwela hidup-hidup. Operasi darat anti-teror gabungan itu berhasil memojokkan pasukan pemberontak dan mengepung markas Kertiwindhu & Dahyang Suwela. Dalam penyergapan itu, Kertiwindhu dan Dahyang Suwela tewas karena berusaha melawan. Setelah meredam pemberontakan, Danurwenda & Jayasumpena bersahabat dekat dan sama-sama ikut menjaga perdamaian di Bharatawarsa.

Danurwenda wafat di usia tua dan posisi-nya digantikan oleh Nagapratala. Pada saat itu, era Madya sudah memasuki masa akhir. Tokoh ini merupakan tokoh asli ciptaan Pujangga Jawa dan tidak ada di serial Mahabharata.

Kurawa


Nama nama  100  Kurawa ;


Versi India                           Versi Indonesia                 Versi Indonesia  terbaru  

  1. Duryudana;                          Duryudana                            Duryudan, 

  1. Dursasana                            Dursasana                             Dursasana

  1. Abaya;                                 Durjaya;                                Abaswa

  1. Adityakethu;                         Durmasama;                          Adityakethu

  1. Alalupa;                                Durgempo;                            Alobha

  1. Amapramadi;                        Durmana;                              Anadhresya

  1. Anadrusya;                            Dursara;                               Anudhara
  1. Antudara;                              Durbahu;                              Anuradha

  1. Anuwanda;                            Durkundha;                          Anuwinda

  1. Aparajita;                              Durmada;                             Aparajita

  1. Ayubahu,                              Durdarsa;                              Aswaketu

  1. Bahwasi;                               Dirgaroma;                            Bahwasi(Balaki)

  1. Bilawardana;                        Dursatwa;                              Balawardana

  1. Bimabala;                             Durdara;                                Bhagadatta (Bogadenta)

  1. Bimawega;                           Dirgama,                                Bima

  1. Bimawikra;                          Dirgalasara;                            Bimabala

  1. Carucitra;                             Durmandaka;                         Bimadewa

  1. Citra;                                    Duspradasa;                          Bimarata

  1. Citrabana;                            Durkaruna;                             Carucita

  1. Citraksa;                             Durkarana;                            Citradama

  1. Citrakundha;                        Dusparajaya;                          Citrakala

  1. Citrakundhala;                     Durpramata;                           Citraksa

  1. Citrangga;                            Durwega;                               Citrakunda

  1. Citrawarma;                         Duryudha;                              Citralaksya

  1. Citrayudha;                        Durmuka;                              Citrangga

  1. Danurdara;                           Durmagati,                          Citrasanda

  1. Dirkabahu;                          Genthara;                               Citrasaya

  1. Dirkaroma;                          Genthiri;                                 Citrawarman

  1. Dredhahasta;                       Bogadenta                              Dharpasandha

  1. Dredhakarmawu;                Hanudara,                                Dhreksetra

  1. Dredhasathra;                     Halayuda;                                 Dirgaroma

  1. Dredharatasraya;                Nagadhata;                               Dirgabahu

  1. Dredhasandha;                   Udadara;                                  Dhirgacitra

  1. Dredhawarma;                   Dirgabahu;                                Dredhahasta

  1. Duradhara;                         Darmamuka;                             Dredhawarman

  1. Durdarsa;                           Jalasaha;                                   Dredhayuda

  1. Durmada;                          Wisalaksa,                                Dretapara

  1. Durmarsana;                     Watawega;                                Duhpradhasana

  1. Durmuka;                         Ugrayudha;                                 Duhsa
  1. Dursaha;                           Bomawikatha;                            Duhsah

  1. Dursala;                           Wikathaboma;                             Durbalaki

  1. Durwigaha;                      Citraboma;                                 Durbharata

  1. Durwimuca;                       Habaya;                                   Durdharsa;


  1. Duskarna;                          Mahabahu:                              Durmada

  1. Dusparajaya;                      Jalasantaka;                           Durmarsana

  1. Duspradarsa;                     Rudrakarman;                        Durmuka

  1. Jalagandha;                       Jalasuma;                                Durwimocana

  1. Jarasandha;                       Carucitra;                               Duskarna

  1. Kancanadhwaja;               Dwilocana;                             Dusparajaya

  1. Karna;                               Dursana;                                Duspramana 

  1. Kawaci;                            Dursaya;                                 Hayabahu

  1. Kradhana;                         Dredakesti;                            Jalasandha

  1. Kundhabedhi;                   Ekatama;                               Jarasandha

  1. Kundhadara;                     Dredhaseta;                          Jayawikata

  1. Kundhasae;                      Trigarsa;                                Kanakadhwaja

  1. Kundhasi;                         Dretgayuda;                          Kanakayu

  1. Kundhy;                           Citrayuda;                              Karna

  1. Mahabahu;                       Dredawarma;                         Kawacin

  1. Mahodara;                        Hagnyadresya;                     Krathana

  1. Nagadata;                         Patiwega;                              Kundhabedi

  1. Nandha;                            Bimarata;                              undhadara

  1. Misamgi;                          Brajasandha;                           Mahabahu

  1. Pasi;                                 Wirabahu;                              Mahacitra
   
  1. Pramadha;                        Bimawega;                             Nandhaka

  1. Sadasuwaka;                    Balawardhana;                       Pandhikunda
   
  1.  Saha;                                Danurdara;                           Prabatha

  1. Sala;                                Balakindha;                             Pramathi

  1. Sama;                              Bimasuwala;                           Rodrakarman

  1. Sarasana;                        Gardapura;                             Sala

  1. Sathwa;                           Gardapati;                              Sama

  1. Satyasandha;                  Windadini;                               Satwa

  1. Senani;                           Naranurwindha;                      Satyasandha

  1. Somakirti;                      Sulacana;                                Senani

  1. Subahu;                          Wiwingsata;                           Sokarti

  1. Subasta;                          Kundasyin;                           Subahu

  1. Sujata;                            Adityakethu;                         Sudatra

  1. Sulocana;                       Aprajita;                                Suddha

  1. Sunaba;                          Agrasana;                             Sugrama

  1. Susena;                          Sunarsonawana;                   Suhasta

  1. Suwarca;                       Agrayayin;                            Sukasananda

  1. Suwarma;                      Kartamarma;                     Sulokacitra

  1. Suwiryaba;                    Kartadendha;                       Surasakti

  1. Ugrase;                          Kratana;                              Tandasraya

  1. Ugrasena;                      Kenyakadaya;                      Ugra

  1. Ugrasrawas                   Citraksa;                              Ugrasena

  1. Ugrayuda;                     Citrawarma;                           Ugrasrayi

  1. Upacitra;                       Citrakundala;                         Ugrayudha

  1. Upananda;                     Citraga;                                 Upacit

  1. Umanaba;                      Citrabana;                             Upanandaka

  1. Walaki;                           Somakirta;                          Umanaba

  1. Natawiga;                       Subarsona;                          Wedha

  1. Wikarna;                        Subardisona;                       Wicitrihatana

  1. Wikatinanda;                 Ugraweya;                            Wikala

  1. Windha;                         Citradama;                           Wikatanana

  1. Wirabahu;                      Upanandhaka;                      Windha

  1. Wirajasa;                       Ugrasewa;                            Wirabahu

  1. Wirawi;                          Upacitra;                              Wiradha

  1. Wisalaksa;                      Senani;                                Wisakti

  1. Wiwitsu;                         Wahkawaca;                       Wiwitsu                                                            
100. .Wrendaraka.                       Citraksi                           Wyudaru
                                                                                      
                                                                                          (Wiyudarus)

101.  Yuyutsu

102.  Dursala/Dursila/Dursilawati

Duryudana




Duryudana adalah putera Prabu Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua. Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun senantiasa bermusuhan, hingga terjadi perang saudara, yang disebut Baratayudha. Negeri HHastinapurapura terhitung kerajaan besar, binatara, maka waktu perang Baratayudha dapat bantuan dari kerajaan lain. Sebenarnya Prabu Duryudana seorang yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding dengan Raden Wrekudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi ketahuan oleh Wrekudara dari isyarat yang diberikan oleh Prabu Kresna dengan menepuk-nepuk paha kiri yang merupakan kelemahannya. Setelah dipupuh (dipukul) dengan gada, paha kirinya oleh Wrekudara, tewaslah ia. Kelemahan paha ini karena waktu muda Duryudana dimandikan dengan air sakti, ada bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah bagian badan itu oleh air sakti yang membasahi seluruh badannya.
Prabu Duryudana menantu raja Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati, Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena puteri itu dicuri oleh Kartowiyoga, dan Prabu Duryudana mencari puteri itu tetapi gagal. Putri tersebut diketemukan oleh Raden Kakrasana, maka diperisterilah puteri itu oleh Kakrasana, yang kemudian jadi raja di Madura bernama Prabu Baladewa.
Kedua kali Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna.
Ketiga kalinya, bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga, luluslah perkawinan ini. Namun sebenarnya, puteri Banowati tak suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri oleh Raden Arjuna. Lantaran ini, Dewi Banowati .menurut juga dipermaisuri dengan Prabu Duryudana, tetapi dengan janji tak akan dilarang semasa Dewi itu bertemu dengan Arjuna sewaktu-waktu. Dikabulkanlah permintaan itu dan terlaksana pada waktu-waktu Banowati bertemu dengan Arjuna tak diganggu-gugat. Prabu Duryudana berputera Raden Lesmanamandrakumara dan Dewi Dursilawati.

BENTUK WAYANG

Prabu Duryudana bermata telengan, hidung dempak. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang besar, berpraba. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan kerajaan. Batik kain parang rusak barong, tanda kain pakaian bangsawan agung. Prabu Duryudana berwanda: Yangkung dan Jaka
Dursilawati

Dewi Dursilawati adalah satu-satunya wanita dari 100 (seratus) orang putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Diantara 100 orang, keluarga Kurawa yang dikenal dalam pedalangan adalah; Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjar Jumut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, dan Widandini (raja negara Purantara) .
Dewi Dursilawati sangat dimanja oleh orang tuanya dan saudara-saudaranya. Hidupnya serba mewah, keinginanya selalu terlaksana. Ia jarang sekali keluar dari lingkungan istana. Wataknya bersahaja, menarik hati, gaya dan kata-katanya serbamenarik.Dewi Dursilawati menikah dengan Arya Sinduraja/Arya Tirtanata atau lebih dikenal dengan nama Arya Jayadrata, raja negara Sindu. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wiruta dan Arya Surata.
Setelah berakhirnya perang Bharatayuda dengan tewasnya suaminya, Arya Jayadrata dan seluruh saudaranya dimedan perang Kurusetra, Dewi Dursilawati tinggal dinegara Sindu bersama putranya, Arya Surata yang bertahta menjadi raja negara Sindu menggantikan ayahnya. Sesekali ia datang kenegara Astina untuk membangun dan melanggengkan keakraban hubungan kekeluarga dengan keluarga Pandawa dan keturunannya.
kurawa rucah




































































































Tokoh Sing Ngewangi Kurawa
Sengkuni
Arya Sakuni yang waktu mudanya bernama Trigantalpati adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Arya Sakuni menikah dengan Dewi Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama ; Arya Antisura/Arya Surakesti, Arya Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara Dwarawati.

Sakuni mempunyai sifat perwatakan ; tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki dan licik. Ia bukan saja ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir dalam olah keprajuritan.
Sakuni mempunyai pusaka berwujud Cis (=Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah.
Dalam perang Bharatayuda, Sakuni diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa setelah gugurnya Prabu Salya, raja negara Mandaraka. Ia mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima. Tubuhnya dikuliti dan kulitnya diberikan kepada Dewi Kunti untuk melunasi sumpahnya. Mayat Sakuni kemudian dihancurkan dengan gada Rujakpala.
—————

Asal-Usul Versi Pewayangan
Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sangkuni bukan kakak dari Gandari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sangkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asli Arya Suman.
Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gandari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan Kunti, putri negeri tersebut.
Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gandari dan Suman menuju Hastina.
Sesampainya di Hastina, Gandari diminta oleh kakak Pandu yang bernama Dretarastra untuk dijadikan istri. Gandari sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Korawa, anak-anak Dretarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.
Asal-Usul Nama Sangkuni
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sangkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Gandamana.
Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.
Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.
Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek.
Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sangkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna “dari ucapan”. Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri.

Peristiwa Minyak Tala
Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Dretarastra supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.
Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa melawan para Korawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Korawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya.
Namun, Sangkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan Dretarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sangkuni segera membuka semua pakaian dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya dengan minyak tersebut.
Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Korawa tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Drona yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya, para korawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut.
Sangkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus kulitnya.

Usaha-Usaha untuk Menyingkirkan Pandawa
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sangkuni merupakan penasihat utama Duryodana, pemimpin para Korawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi untuk menyingkirkan para Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Balai Sigala-Gala.
Usaha Sangkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.
Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryodana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sangkuni, ia pun mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sangkuni bertindak sebagai pelempar dadu Korawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan istri mereka, Dropadi jatuh ke tangan Duryodana.
Mendengar Dropadi dipermalukan di depan umum, Gandari ibu para Korawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryodana mendesak ayahnya, Dretarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Dretarastra yang lemah tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu.
Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sangkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya.

Kematian di Kurukshetra
Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya.
Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Korawa dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal dengan sebutan Baratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana Sangkuni tewas pada hari terakhir.
Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sangkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung.
Dengan penuh perjuangan, Sahadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.
Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah berbahasa Jawa Kuna ini, Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena, Pandawa nomor dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi beberapa bagian.
Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus asa.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.

Durna
Karna



Aku dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Dewi Kunthi atau Dewi Prita, anak Prabu Basukunti alias Kuntiboja raja negara Mandura. Menurut cerita yang aku terima dari ramanda Batara Surya, aku dilahirkan melalui telinga, oleh karenanya aku diberi nama Karna yang artinya telinga. Aku sendiri juga heran dan bertanya-tanya, benarkah aku dilahirkan melalui telinga Ibu Kunti? Sungguh ajaib. Bagaimana hal itu bisa terjadi? untuk memenuhi rasa ingin tahuku, Ramanda Batara Surya menceritakan peristiwa seputar kelahiranku. Diceritakan bahwasanya Ibu Kunthi adalah sosok wanita yang cantik jelita, cerdas, luwes, patuh dan sabar. Oleh karena kelebihannya, Eyang Prabu Basukunti mempercayakan kepada Ibu Kunti untuk melayani tamu-tamu negara.

Pada suatu waktu Negara Mandura kedatangan tamu seorang Begawan sakti yang bernama Begawan Druwasa. Ia sangat puas atas pelayanan Kunti. Sebagai tanda terimakasihnya Begawan Druwasa memberikan kepada Kunti sebuah mantra sakti yang bernama Aji Adityar Hedaya atau Aji Dipamanunggal atau disebut juga Aji Pameling. Mantra sakti tersebut berdayaguna untuk mendatangkan dewa sesuai dengan yang diinginkan.
Selain hal-hal positif yang ada pada sosok Kunthi, ada hal-hal negatif yang dimilikinya, salah satunya adalah kebiasaan bangun siang. Pada suatu hari ketika Kunti bangun tidur, ia tidak dengan serta merta meninggalkan pembaringannya. Ia ingin merasakan keindahan dan merasakan kehangatan sinar matahari yang masuk di kamarnya. Melihat sinar matahari yang mengenai tubuhnya, Kunti membayangkan sosok Batara Surya, dewa rupawan yang menguasai matahari. Tiba-tiba Kunti teringat mantra sakti Aji Pameling pemberian Begawan Druwasa. Sebagai dara belia, ia tergoda untuk mencoba mengetrapkan ajian tersebut. Maka kemudian dibacanya mantra sakti tersebut. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada saat selesai membaca mantra Aji Pameling, seusai Kunti mengerdipkan matanya, tiba-tiba di tilamsari tempat Kunti berbaring telah hadir Dewa Surya, Dewa penguasa matahari.
Sosok yang diangankan telah hadir disampingnya, tidak ada lagi yang membedakan antara angan dan kenyataan. Ketika ke duanya hadir dalam waktu yang bersamaan, tidak ada lagi yang menghalangi, keduanya akan menjadi satu. Angan yang menguasai pikiran dan kenyataan yang menguasai raga saling berpuletan erat. Keduanya berada antara alam mimpi dan alam nyata.
Namun pada kenyataan setelah kejadian tersebut Dewi Kunti mengandung. Atas kejadian tersebut Prabu Basukunti marah luar biasa. Ia memanggil Begawan Druwasa untuk meminta pertanggungjawabannya atas pemberian Aji Pameling kepada Kunti yan masih belia. Sesungguhnya yang dilakukan Begawan Druwasa tersebut untuk menolong Kunti. Karena menurut pesan gaib yang diterima Begawan Druwasa, bahwa pada suatu saat nanti Kunti sangat membutuhkan Aji Adityar Hedaya. Namun sayang belum tiba waktunya Kunti telah mencoba mantra aji Pameling kepada Dewa Surya.
Begawan Druwasa tahu resikonya jika seorang dara belia mempunyai aji Pameling. Maka dari itu ia bertanggungjawab atas resiko yang terjadi. Maka ketika usia kandungan Kunti sudah berumur sembilan bulan lebih sepuluh hari, dengan kesaktiannya Begawan Druwasa membantu kelahiran bayi. Dengan mantra saktinya yang menyatakan bahwa Aji Adityar Hedaya yang pada mulanya masuk melalui telinga menuju ke angan Kunti, meresap di hati, di tubuh dan kemudian menggumpal menjadi sosok bayi, akan dikeluarkan melalui telinga pula. Itulah keajaiban. Begawan Druwasa membopong kelahiran bayi yang keluar melalui lobang yang sama seperti ketika pada mulanya benih itu masuk. Dan dinamakan bayi itu Karna, yang berarti telinga.
Upaya melahirkan bayi melalui telinga adalah perwujudan tanggung jawab Begawan Druwasa untuk memulihkan keperawanan Kunti, bahwa Kunti masih gadis, belum beranak. Maka keberadaan bayi tersebut dianggap aib, Oleh karena harus di buang dilarung ke sungai Gangga agar jauh meninggalkan negara Mandura, demikian perintah Prabu Basukunti.
Sebelum Karna dihanyutkan di sungai, ada satu hal yang masih diingat oleh Kunthi bahwa bayi Karna memakai Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan pemberian Dewa Surya.
Sejak bayi yang tidak berdosa tersebut dihanyutkan di sungai Gangga nama Karna sengaja dihapus dari negara Mandura. Terbukti Prabu Basukunti menggelar sayembara, bagi siapa saja yang dapat memenangkan sayembara berhak memboyong putri kedhaton Mandura yaitu Dewi Kunti.
Cerita selanjutnya mengenai diriku aku dapatkan dari Bapa Adirata seorang sais kereta kraton Hastinapura, sewaktu pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana dan Prabu Pandudewanata.
Pada suatu pagi, ketika Adirata sedang membasuh badannya di Sungai Gangga, ia terkejut melihat dari kejauhan sebuah benda yang berkilau-kilau. Tanpa pikir panjang Adirata berenang menyongsong benda tersebut. Lebih terkejut setelah diketahui bahwa benda berujud peti kecil terbuka yang dinamakan gendaga tersebut berisi bayi mungil yang memakai pakaian perang yaitu Kotang Kerei Kaswargan, semacam baju Zirah dan Anting Mustika. Dengan raut muka berbinar-binar, Adirata memondong gendaga dan bergegas membawanya pulang. Adirata menjadi tidak sabar untuk segera mengabarkan kabar sukacita ini kepada Rada isterinya.
Bagaiakn kejatuhan rembulan sepasang suami isteri setengah baya tersebut mendapatkan bayi yang selama ini didamba. Apalagi bayi tersebut bukanlah bayi sembarangan, jika dilihat dari kedua benda yang melekat di tubuhnya dan perlengkapan yang disertakan.
Adirata dan Rada merawat bayi yang ditemukan dengan ketulusan dan kasih sayang. Selain bernama Karna sesuai dengan tulisan yang disertakan, bayi tersebut kemudian diberi nama Wasusena karena waktu diketemukan memakai pakaian perang. Sedangkan orang-orang disekitarnya menyebut Karna dengan nama panggilan Radeya yang artinya anak dari Nyai Rada.
Karna tumbuh menjadi anak yang cerdas berani dan jujur. Adirata dan Nyai Rada bangga karenanya. Setelah menginjak dewasa, Karna sering berpetualang sendirian. Belajar ilmu ke sana-kemari. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ia kepengin sekali bergabung dengan para Kurawa dan para Pandawa untuk bersama-sama berguru kepada Durna. Tetapi keinginannya tidaklah mungkin kesampaian, dikarenakan Karna bukanlah termasuk golongan ksatria. Ia hanyalah anak seorang sais kereta. Anak seorang sais kereta pantasnya juga menjadi sais kereta. Pemahaman seperti itulah yang ada pada Adirata, maka kemudian diberikanlah sebuah kereta kuda agar dipakai Karna untuk belajar menjadi sais.
Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan gejolak jiwa yang ada, Karna tidak menolaknya, malahan kereta kuda pemberian Adirata tersebut dijadikan alat untuk latihan perang-perangan. Usaha Karna untuk mendapatkan ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak pernah berhenti hanya karena tidak diperkenankan bergabung menjadi satu perguruan dengan para ksatria Pandawa dan Kurawa. Karna tetap gigih berusaha untuk mendapatkan guru sakti yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kesaktian Durna. Karena usahanya yang tak berkesudahan, Karna akhirnya menemukan guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah, yang bernama Rama Parasu. Namun dikarenakan Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu.
Dengan menyamar sebagai brahmana Karna diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas. Tidak lama kemudian Karna telah menjelma menjadi seorang remaja yang mempunyai ilmu tingkat tinggi, yang tidak kalah jika dibandingkan dengan ilmu para ksatria Pandawa dan Kurawa.
Salya
Prabu Salya ketika mudanya bernama Narasoma. Ia adalah putra Prabu Mandrapati, raja Negara Mandaraka dari permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya mempunyai saudara kandung bernama Dewi Madri/Dewi Madrim yang kemudian menjadi isteri Prabu Pandu, raja negra Astina
Prabu Salya menikah dengan Dewi Pujawati/Dewi Setyawati. Putri tunggal Bagawan Bagaspati, brahmana raksasa di pertapan Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari/bidadari. Dari perkawinan tersebut., ia dikaruniai 5 (lima) orang putra, yaitu; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata.
Prabu Salya mempunyai sifat dan perwatakan; tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih-lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.
Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayuda oleh Prabu Yudhistrira/Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada

Bisma





Bisma (Sansekerta: Bhīshma) terlahir sebagai Dewabrata (Sansekerta: Dévavrata), adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

Arti nama
Nama Bhishma dalam bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Kelahiran
Bisma merupakan penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai manusia yang lahir dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab Adiparwa, Delapan Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas perbuatannya yang telah mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.
Kehidupan awal
Sementara tujuh kakaknya yang telah lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh ibu mereka sendiri, Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu menemukan puteranya secara tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama Dewabrata. Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.
Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Pendidikan
Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti oleh segala lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena perdebatan mereka di asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja Bisma mendorong Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama bersumpah untuk tidak lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat susah.
Peran dalam Dinasti Kuru
Di lingkungan keraton Hastinapura, Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang.
Bisma sangat dicintai oleh Pandawa maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat.
Perang di Kurukshetra
Saat perang antara Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian, karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah terdapat kejayaan.[2]
Dalam pertempuran akbar di dataran keramat Kurukshetra, Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit dan ksatria yang melawannya pasti binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab Bismaparwa dikatakan bahwa di dunia ini para ksatria sulit menandingi kekuatannya dan tidak ada yang mampu melawannya selain Arjuna – ksatria berpanah yang terkemuka – dan Kresna – penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma, namun ia sering bertarung dengan setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah kakek kandungnya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih sayang dengan Arjuna, cucu yang sangat dicintainya.
Kresna yang menjadi kusir kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang masih segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa Bisma dengan tangannya sendiri. Dengan mata yang menyorot tajam memancarkan kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan perhatian untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru bahagia jika gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia mengurungkan niatnya dan naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.
Kematian
Sebelum hari kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma di malam hari untuk mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui bahwa Pandawa dan Kresna telah masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab: .. ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung
Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut. Pada hari kesepuluh, Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di belakang Srikandi, Arjuna menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan melumpuhkan Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma menghembuskan nafasnya setelah ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan setelah ia memberikan wejangan suci kepada Yudistira setelah perang Bharatayuddha selesai.
Bisma dalam pewayangan Jawa
Antara Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Riwayat
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa.
Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha.
Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.
sumber ''http://wayang.wordpress.com/2010/03/18/bisma/

jaya jatra





Raden Jayadrata seorang anak hasil pemujaan Begawan Sapwaniwijawastra di Banakeling. Ia berasal dari karung bayi Raden. Bratasena. Waktu Raden Bratasena dilahirkan, ia terbungkus dalam karungnya. Setelah Bratasena keluar dari karungnya, karung itu oleh Dewa dibuang dan jatuh di negeri Banakeling. Karung bayi itu diambil oleh Begawan Sapwani dan dipuja hingga jadi berupa seorang anak laki-laki, diberi nama Jayadrata, ‘dan juga bergelar Kesatria Banakeling.
Setelah Jayadrata dewasa, ia ingin menghambakan diri pada raja. Oleh petunjuk Sapwani, Jayadrata diharapkan menghambakan diri pada Raden Bratasena, saudara Pandawa yang, kedua, dan, diterangkan bahwa Bratasena, itu saudara Jayadrata. Di tengah jalan Jayadrata bertemu dengan Patih Sakuni, seorang Patih negeri Hastinapura. Jayadrata menerangkan bahwa ia akan mengabdi pada Pandawa. Sakuni seorang yang cerdik, manis bicaranya, maka Jayadrata dibujuk supaya menghamba pada Hastinapura, seorang raja besar yang terkaya, dan. Sakuni berjanji akan mengangkat Jayadrata jadi punggawa besar, begitu juga akan diperisterikan dengan puteri Dewi Dursilawati saudara Sri Duryudana. Kehendak Sakuni itu adalah suatu muslihat yang cerdik, karena dilihatnya akan kegagahan. dan keelokan Jayadrata, maka dapat dijadikan panglima negeri Hastinapura, untuk melawan Pandawa. Pada hemat Sakuni itu tak salah, setelah Jayadrata menghamba ke kerajaan Hastinapura, diangkat sebagai perwira yang ulung, hingga diperisterikan dengan saudara Prabu Duryudana, Dewi Dursilawati, dan diberi kekuasaan besar, disebut kesatria agung.
Pada perang Baratayudha, Jayadrata dipuja-puja dengan sembunyi-sembunyi oleh Begawan Sapwani supaya menang dalam perang. Mengenai hal ini Arjuna berkata: Jikalau ini hari aku tak dapat membunuh Jayadrata, aku akan bunuh diri dengan jalan membakar diri. Hal ini terdengar oleh Begawan Sapwani, lalu disembunyikanlah Jayadrata. Tapi ketika Arjuna akan membakar diri, Jayadrata mengintip akan melihat Arjuna. Perbuatan, itu ketahuan juga oleh Sri Kresna, dan atas titah Sri Kresna, Arjuna memanah Jayadrata hingga putus leher dan kepalanya dilemparkan jatuh kehadapan Sapwani yang sedang memuja.

BENTUK WAYANG

Wujud Raden Jayadrata menyerupai Raden Wrekudara dan juga dengan Raden Gatotkaca. Jayadrata bermata telengan, hidung dempak, muka agak tunduk. Menurut bentuk muka yang demikian, menunjukkan kegagahanya. Rambut bersanggul keling. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang. Berpraba, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap dan bercelana cindai.
Aswatama






Dalam wiracarita Mahabharata, Aswatama (Sansekerta: Aśvatthāmā) atau Ashwatthaman (Sansekerta: Aśvatthāman) adalah putera guru Dronacharya dengan Kripi. Sebagai putera tunggal, Dronacharya sangat menyayanginya. Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Chiranjīwin, karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kretawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta.

Aswatama dalam Mahabharata
Sebagian kisah hidup Aswatama dimuat dalam kitab Mahabharata. Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan terhadap lima putera Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utara, istri Abimanyu. Janin tersebut berhasil dihidupkan kembali oleh Kresna namun lima putera tidak terselamatkan nyawanya.
Riwayat
Aswatama merupakan putera dari Bagawan Drona dengan Kripi, adik Krepa. Semasa kecil ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana.
Aswatama adalah ksatria besar dan konon pernah membangkitkan pasukan Korawa dari duka cita dengan cara memanggil “Narayanāstra”. Namun Kresna menyuruh pasukan Pandawa agar menurunkan tangan dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil “Agneyāstra” untuk menyerang Arjuna namun berhasil ditumpas dengan Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”.
Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa, dan menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, namun karena kesalahan ia membunuh 5 putera Pandawa dengan Dropadi (Pancawala).
Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata ‘Brahmashira’ yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan chakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bagawan Byasa menyuruh agar kedua ksatria tersebut mengembalikan senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama (yang mungkin kurang pintar) tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna.
Oleh karena itu Utara tidak bisa melahirkan Parikesit, putera Abimanyu, yang kelak akan meneruskan keturunan para Pandawa bersaudara. Senjata Brahmastra berhasil membakar si jabang bayi, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 3.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup sampai akhir zaman Kali Yuga.
Aswatama juga harus menyerahkan batu permata berharga (“Mani”) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
Aswatama dalam pewayangan Jawa
Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.
Riwayat
Aswatama adalah putra Bagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan.
Aswatama dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya memihak para Korawa pada perang Bharatayuddha.
Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Cerita dalam khazanah Sastra Jawa Baru dikenal sebagai lakon wayang: “Aswatama Gugat”.
Aswatama pada kesempatan itu ingin membalas dendam kematian ayahnya, bagawan Drona. Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena disiasati oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa “Aswatama” telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan dia melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti Gajah) namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakannya kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong pun mengatakan iya.
Aswatama juga merasa kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumena (pembunuh ayahnya, Resi Drona), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (Janda Prabu Duryodana) dan Dewi Srikandi, sebelum akhirnya ia mati oleh parikesit,terkena panah.
Burisrawa






Arya Burisrawa adalah putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat orang saudara kandung masing-masing bernama ; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati dan Bambang Rukmarata.
Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa dan sangat sakti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, ingin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran dan membuat peristiwa – peristiwa yang penuh dengan kekerasan.
Burisrawa menikah dengan Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja negara Cedisekar/Cindekembang dan berputra Arya Kiswara. Ia sangat akrab hubungannya dengan Prabu Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryudana, raja Astina dan Adipati Karna, raja Awangga karena hubungan saudara ipar.
Dalam perang Bhratayuda, Burisrawa berada di pihak keluarga Kurawa. Ia gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid/Ugrasena, raja negara Lesanpura.
Tokoh liyane
Ndwarawati,sengkapura,Swelabumi & Mandura (Yodawa)

ASAL USUL PANDAWA

Manumayasa

Ayah : Bambang Parikenan
Istri : Dewi kanastri/Retnawati
Tempat Tinggal : Padepokan Ratawu
supalawa

Resi Supalawa berujud manusia kera/wanara berbulu puith. Ia bersaudara kembar (dampit) gondangkasih dengan Wisnukapiwara yang berbulu hitam (lutung). Mereka adalah sahabat Sanghyang Wisnu dan tinggal di Kahyangan Untarasegara. Oleh Sanghyang Wisnu, Supalawa ditugaskan sebagai pengasuh Bathara Parikenan, cucu Sanghyang Wisnu, putra Bathari Srihunon dengan Bathara Bramanaresi (Bremani), putra Sanghyang Brahma.
Ketika Manumayasa/Kanumayasa, putra Bathara Parikenan dengan Dewi Bramaneki turun ke Arcapada, oleh Sanghyang Wisnu, Supalawa diperintahkan untuk menyertainya. Ia ikut membantu Manumayasa membangun padepokan Retawu di salah satu puncak Gunung Saptaarga. Sebagai andel kepercayaan Resi Manumayasa, Supalawa berhasil menjaga ketenteraman padepokan Retawu. Dengan kesaktiannya ia juga berhasil mengusir raksasa-raksasa Pringgandani dibawah pimpinan Prabu Arimbaka yang menyerang padepokan Retawu.
Setelah usianya lanjut, Supalawa meninggalkan padepokan Retawu, mendahului Resi Manumayasa, untuk tinggal di Paremana, masih di kawasan Gunung Saptaarga, di bekas pertapaan Bathara Bramanaresi (Bremani), kakek Resi Manumayasa. Atas perkenan Sanghyang Wisnu, ia menikah dengan seorang hapsari, dan menurunkan para wanara/manusia kera, diantaranya Resi Mayanggaseta/Pracandaseta, kera putih yang tinggal di pertapaan Pandansurat, wilayah kerajaan Jodipati, negara Amarta.
Akhir riwayatnya diceritakan, Resi Supalawa mati moksa dalam usia sangat lanjut, dan arwahnya kembali ke nirwana.
Sekutrem

Bambang Sekutrem





 Mengisahkan pengurangan senjata pemusnah masal.

 Kisah tentang  Bambang Sekutrem yang mendapatkan senjata pusaka dari Kahyangan, dan juga akan di sampaikan pula pesenjataaan para Pandawa dan Kurawa, serta pengurangan senjata pemusnah masal oleh Prabu Kresna, dilakukan baik di pihak Kurawa maupun di pihak Pandawa sendiri.

Bambang Sekutrem, adalah putera Begawan Manumayasa, diminta sraya oleh dewa untuk mengusir pasukan Prabu Kalimantara dari Negeri Cempaka Kawedar beserta para perajuritnya. yang telah merusak kahyangan Jonggringsaloka,

Batara Narada turun ke marcapada  menemui Begawan Manumayasa. Batara Narada meminta Begawan Manumayasa untuk mengijinkannya mengajak Bambang Sekutrem ke Kahyangan, menjadi jago dewa  untuk mengusir musuh yang telah memasuki Kahyangan Jonggringsaloka.

Begawan Manumayasa memberikan restu kepada puteranya, Bambang Sekutrem, untuk membantu para dewa mengusir musuh dari Negeri Cempaka Kawedar,yang sekarang ini menguasai Kahyangan Jonggringsaloka.Prabu Kalimantara, beserta pasukannya, yang diperkuat oleh Aria Tunggulnaga, telah berhasil memasuki Gerbang Selamatangkep. Yaitu, dengan membobol Gerbang Selamatangkep. Para Dewa merasa kewalahan menghadapi musuh musuhnya. Akhirnya Bambang Sekutrem bersama Batara Narada pun telah sampai di Kahyangan. Untuk memberikan kekuatan Bambang Sekutrem, baik kekuatan jiwa dan raga yang akan melawan Prabu Kalimantara, maka Batara Brahma memberikan pusaka Pulanggeni kepada Bambang Sekutrem..

Prabu Kalimantara tertawa terbahak bahak, ketika mengetahui para dewata tidak berani lagi melawan mereka, justru para dewa membawa orang biasa yang dijagokan untuk melawan mereka. Dengan sungkan hati Prabu Kalimantara melayani perlawanan Bambang Sekutrem. Namun dengan kegesitan dan kekuatan Bambang Sekutrem dalam melawan Prabu Kalimantara beserta pasukannya, Prabu Kalimantara beserta pasukannya dapat dibinasakan oleh Bambang Sekutrem,

Namun kemudian terjadi keajaiban, prabu Kalimantara beserta pasukannya berubah menjadi pusaka pusaka sakti. Prabu Kalimantara menjadi Pusaka Jamus Kalimasada, mereka ada yang menjadi songsong Tunggulnaga, tombak Karawelang, serta pusaka pusaka, Sarotama, Ardadedali, serta pusaka pusaka yang lain.Pusaka Pasopati didapat Arjuna sewaktu bertapa di Indrakila.  Para Dewa memberikan semua pusaka pada Bambang Sekutrem. Disamping senjata pusaka, Bambang Sekutrem mendepat anugerah berupa pusaka  itu. seorang bidadari bernama Dewi Nilawati. Bambang Sekutrem menikah dengan Dewi Nilawati, mendapatkan   dua orang putera, yaitu Bambang Sakri dan Bambang Sayati. Bambang Sayati atau Bambang Sayadi ini  nantinya akan menurunkan raja raja di Mandaraka. Bambang Sakri kawin dengan Dewi Sati mempunyai seorang putera bernama Bambang Pulasara

Pusaka pusaka itu kemudian di kuasai secara turun temurun, dari Sekutrem diturunkan kepada Sakri, kemudian Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu, yang kemudian  terakhir Pandawa, Sedangkan Pandawa,yang menguasai pusaka pusaka tersebut, Prabu Puntadewa,yang menguasai tiga pusaka, yaitu Jamus Kalimasada, tombak Kyai Songsong Tunggulnaga dan.tombak Karawelang..Sedangkan Arjuna, hampir semua pusaka di kuasainya, seperti Sarotama, Pulanggeni, Ardadedali. Dan beberapa pusaka lagi.Sewaktu Prabu Abiyasa  nenunjuk Pandu mmenjadi raja, sudah sewajarnya semua pusaka diserahkan pada Pandu, sebagai raja Astina. Sehingga tanpa memberikan satu buah senjatapun kepada  Drestarastra, Mungkin karena kekurangannya, maka Abioyasa, tidak memberikannya, dikhawatirkan bisa membahayakan Drestarastra itu sendiri,  Demikian pula pada Para putra Drestarastra tidak ada yang mendapatkan pusaka. Sedangkan Para Kurawa tidak pernah memperebutkan pusaka pusaka tersebut, yang menjadi pikirannya hanya ingin menguasai istana dan negara Astina. Namun Abiyasa  rupanya juga mencintai puteranya, yang memiiki kekurangannya, Abiyasa memberikan pusaka Kumbalageni.untuk menjaga keselamatan bagi Drestarastra.  Yaitu jenis senjata yang dahsyat, yaitu aji ajian yang bisa mengeluarkan api yang luar biasa besarnya.,untuk  menghancurkan musuh musuhnya, Namun, akhirnya Aji Kumbalageni membakar hutan dibawah kaki Gunung Indrakila, atau Haimalaya,. yang menjadikan tewasnya Dresatarastra, Gendari, Kunti, Yama Widura dan puteranya Sanjaya, yang bertapa ditempa itu,yang semula akan naik gunung Indrakila menuju puncak Kahyangan para dewata.

Hancurnya paara Kurawa bukan karena keseimbangan sernjata yang dimiliknya, walaupun Kurawa tidak menerima warisan pusaka, namun mereka memiliki orang orang sakti sekaligus dengan pusaka pusakanya yang dahsayat, seperti Adipati Karna yang memiliki Panah Kunta Wijayandanu, Kala Dite , Dursasana memiliki keris besar berbnama Kyai Barla, Dursala memiliki aji Gineng dsan aji pengrayangan, juga prabu Salya memiliki pusaka Brahala Candrabirawa, Pandita Durna memiliki Pusaka Nracabala, dan Bisma mempunyai pusaka Tamengwesi, terakhir Prabu Drestarastra juga mwemiliki pusaka Kumbalageni. namun mereka tidak menggunakan dengan baik. Juga Baladewa yang memiliki Pusaka ampuh Nanggala dan Pusaka Alugara, juga termakan siasat Prabu Kresna, sehingga Baladewa harus bertapa di Grojogansewu sampai Perang Baratayudha selesai.Hal tersebut dilakukan Kresna untuk mengurangi persenjataan pemusnah masal, dengan mengurangi pusaka pusaka yang dmiliki Baladewa, sedangkan di pihak Pandawa, Prabu Kresna melucuti persenjataan Antasena, Antareja dan Wisanggeni. Ada dua versi, versi pertama mereka bertiga melakukan bunuh diri, versi lain mengembalikan para putera Dewa dikembali ka ke Kekahyangan, Wisanggeni kembali ke Kahyangan Bathara Brahma,yaitu, Daksinageni, Antareja ke kahyangan Saptapratala, sedangkan Antasena, kembali ke istana Paranggudadi Kahyangan Dasar Samodera, tempat Sanghyang Baruna.bertahta;  Keunggulan Kurawa terdapat  paada gelar perang khususnya Cakrabriha, ciptaan sesepuh Kurawa, yang sebenarnya juga sesepuh Pandawa, hanya saja mereka ikut Kurwa. juga Pandawa, yaitu Bisma dan Pandita Durna.

Para Pandawa memerintah Negara Astina setelah perang Baratayudha. selama tigapuluh enam tahun, yang kemudian menyusul para sesepuh yang tewas karena kebakaraan di hutan, Sebelum Pandawa melakukan perjalanan kepuncak Himalaya, para Pandawa membuang senua pusaka yang ada dalam kekuasaannya ke dalam sumur yang dijumpainya dalam perjalanan, mereka takut terjadinya perang Baratayudha yang kedua. Karena Perang Baratayudha sendiri telah menimbulkan Korban begitu dahsyat.

 Para Pandawa telah  menaiki puncak gunung Himalaya. Dalam pendakian itu, semua Pandawa dan Dewi Drupadi tewas, kecuali Puntadewa yang selamat berkat menolong seekor anjing kecil yang hampir mati tenggelam dalam cairan es, yang sebelumnya sang anjing selalu  mengikuti para Pndawa sejak dari awal menaiki gunung, sampai dipuncak gunung Himalaya, yang ternyata anjing itu, yang tak lain  adalah Sanghyang Darma, ayahanda Prabu Puntadewa, Prabu Puntadewa menyentuh kaki dan menciumnya, untuk menghormati ayahnya.

Sedangkan raja yang menggantikan Pandawa, adalah seorang pemuda putera Abimanyu, dan cucu Arjuna. Tindakannya tidak sdeperti orabg Pandawa, ia gampang marah, dan suka  menghina rakyatnya, khususnya seorang Pendita yang sedang bertapa, yang ditemui Parikesit. ketika mengejar buruannya, berupa seekor kijang, Parikesit mengalungkan bangkai ular ke leher Pendita. peristiwa itulah yang menimbulkan terjadi asal mulanya Parikesit menjadi  tewas.. Parikesit menjadi raja pada usia tigapuluh enam tahunan, namun  karakternya kurang baik, dan tidak bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Parikesit tewas akibat gigitan raja ular Nagataksaka.


Prabu Parikesit inilah yang akan akan menurunkan raja raja Astina berikutnya, setelah Prabu Abiyasa atau Prabu Kresna Dwipayana, sampai Pandu, Puntadewa dan baru, Prabu Parikesit dan beserta keturunan berikutnya.Konon dari Prabu Parikesit ini akan menurunkan cerita wayang Jawa, yaitu cerita Panji Asmara Bangun, bahkan sampai Raja Anglingdarma,  kelak di kemudian hari, sedangkan Astina kemudian berubah menjadi Yawastina, yang kemudian hancur sebelum Anglingdarma muncul. Itu menandai dimulainya sejarah WayangIndonesia khususnya, Jawa, termasuk juga cerita Babad Tanah Jawa,
Sakri


Bambang Sakri iku anake Resi Satrukem lan Dewi Nilawati saka Pujangkara. Sawise dewasa Bambang Sakri kadereng atine supaya enggal duwe sisihan, wanita sing bakal ngancani lan ngampingi ngadhepi sakehing kaanan ing uripe.
Kanggo nggayuh pepenginane iku, Sakri banjur mbangun tapa, njaluk marang para dewa supaya bisa ketemu kalawan wanita jodhone.

Raja krajan Tabelasuket kasebut, ya Prabu Partawijaya, yektine nembe prihatin amarga nagarane kataman pagebluk, banjur ngudi tumbal kanggo nulak lan ngawekani pageblug kasebut.
Mbarengi kaanan kasebut, ing sawijining padhepokan, Resi Dwapara, sawijining mahadwija ing Atasangin, krasa meri amarga mjuride malik tingal, milih meguru marang Resi Kanumayasa ing pertapan Paremana.
Resi Dwapara nglapurake yen Resi Kanumayasa wus ngimpun para satriya lan raja-raja saka pirang-pirang nagara lan sedya merangi nagara Wirata. Nanging sabanjure, Resi Kanumayasa malah sansaya gedhe pangaribawane. Prabu Partawijaya banjur nemoni Resi Dwapara lan njaluk sarana lan sarat kanggo ngawekani pageblug ing negarane.
Resi Dwapara nyaguhi mbiyantu golek sarana lan sarat panjaluke Prabu Partawijaya. Yen Kanumayasa wus kasil dikalahake, Dwapara bakal enggal ngawekani pageblug sing dumadi ing krajan Tabelasuket.
Partawijaya banjur ngrabasa Paremana, nanging kabeh wadyabalane kasil diasorake. Partawijaya dhewe sing nandhang tatu ing paprangan kasebut banjur sesambat lan nyebut jeneng anak mantune, Bambang Sakri. Wusana, sawise rerembugan, dheweke dhamang yen Satrukem sing kasil ngasorake kasektene iku ora liya besane dhewe, bapakne Bambang Sakri.
Mula Partawijaya banjur bali mulih lan methuk Bambang Sakri dikanthi tumuju Paremana. Ing laku mulihe, Partawijaya mampir ing Atasangin lan ngrabasa Resi Dwapara. Paprangan dumadi kanthi rame banget.
Paratwijaya banjur tinggal glanggang nanging ninggal panantang supaya Resi Dwapara tumeka ing Paremana. Dwapara banjur ngrabasa Paremana dibiyantu murid-muride, ananging kalah lan mlayu bali tumuju Atasangin. Partawijaya tumeka ing Tabelasuket, Bambang Sakri lan Dewi Sati wus duwe anak lanang, nanging durung dijenengi. Sabanjure digawa ngadhep ing Paremana.
Dening Resi Kanumayasa, bayi kasebut dijenengi Parasara. Kanumayasa dumunung ing Paremana. Satrukem dumunung ing padhepokan Girisarangan. Resi Sakri ing Argacandi lan Parasara ing pertapan Srungga.
Palasara

Cerita ini mengisahkan tentang Palasara yang menjadi pertapa besar dan sedang diuji oleh Hyang Guru melalui bidadari tetapi tidak berhasil. Oleh Hyang Guru dicoba lagi dengan Narada merubah dirinya menjadi sepasang burung emprit dan bersarang di gelung Palasara, tetapi juga tidak dihiraukannya. Namun setelah ia mengetahui kedua burung itu tidak mengurus anaknya ia marah dan mengejar burung itu.

Sesampainya ditepi Sungai Gangga, Begawan Palasara bertemu dngan Dewi Durgandini dan dapat menebak teka-teki akhirnya menjadi istrinya dan Palasara membuat istana di Hutan Gajah Oya.
Perkawinannya melahirkan seorang anak diberi nama Kresnadwipayana (Abyasa). Selama tinggal di tepi Sungai Gangga, dari perahu Durgandini, lahir Kencakarupa dan Rupakenca, Dewi Rekatawati, dan Rajamala.
Dalam hal ini ia tidak jadi meneruskan memburu burung dan kembali ke Gajah Oya. Sementara itu ketiga putra angkat Palasara , yaitu Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala mengadakan pembrontakan di Wirata, tetapi dikalahkan oleh Durgandana.
Abiasa


Prabu Abyasa anak Prabu Palasara, raja Hastinapura juga menggantikan Prabu Palasara. Prabu Abyasa seorang raja yang bijaksana, adil dan kasih sayang kepada rakyatnya, menepati sebagai adat istiadat seorang raja. Kemudian baginda jadi raja pendeta, artinya seorang raja yang menjadi pendeta, bukan raja sekalian pendeta – bergelar Begawan Abyasa, di gunung Retawu atau Saptarengga. Waktu bertahta bernama Prabu Kresnadipayana.
Kemudian Sang Begawan Abyasa meninggalkan jaman fana ini pindah ke jaman baka dengan sempurna senyawa-raganya dan dijemput dengan kendaraan cahaya oleh Dewa.

BENTUK WAYANG

Prabu Kresnadipayana bermata jaitan, hidung mancung, berjanggut. Bermahkota, berjamang tiga susun dengan garuda membelakang, berpraba. Berkain bokongan kerajaan dan bersepatu. Begawan Abyasa, ialah Prabu Kresnadipayana setelah jadi pendeta berdestar meruntai ke belakang, berjamang dengan garuda membelakang, sunting sekar kluwih, berbaju dan berselendang, bersepatu. Berkain rapekan pendeta.
Sebelum muksa (wafat, hilang dengan badan kasarnya), Begawan Abyasa berkeliling diiring oleh keluarga Pandawa dan keturunannya ke luar kota (negeri), melihat bekas-bekas tempat perang Baratayudha dengan terharu. Dimana Baginda mengetahui tempat-tempat bekas gelanggang perang, yang rusak segera diperbaikinya, dimana, mengetahui jiwa-jiwa mengetahui yang belum sempurna, disempurnakanlah dengan puja. Dan ketika Sang Begawan mengetahui jiwa Pendeta Durna belum sempurna, maka titah Baginda kepada Pandawa, supaya mereka menyempurnakan jiwa itu, karena Sang Pendeta Durna juga guru para Pandawa dilakukanlah. Kejadian ini mengharukan rasa hati segala kerabat Pandawa, karena mereka melihat bekas yang tak menyedapkan pada pemandangan. Usia Sang Begawan lanjut, hingga mengetahui lahir cicit Baginda, ialah Raden Parikesit. Nama Kresnadipayana ini setelah Raden Parikesit bertahta sebagai raja di Hastinapura dipakainya.
Pandu

Prabu Pandudewanata ialah putera kedua Prabu Abyasa, raja di Hastinapura, bapak kelima Pandawa. Prabu Pandudewanata berpermaisuri dua orang puteri. Pertama, Dewi Kuntinalibrata, puteri prabu Kuntiboja, raja di Madura, berputera: Yudistira, Wrekudara dan Arjuna. Kedua adalah Dewi Madrim, puteri raja dan berputra Nakula dan Sadewa (kembar. Kelima saudara inilah yang disebut Pandawa.
Prabu Pandu tak lama bertahta di Hastinapura, karena suatu kesalahan yang dipandang besar oleh Dewa. Adapun kesukaan Pandu ialah berburu di hutan. Pada suatu kali ia keliru membunuh dua ekor kijang, yang sebenarnya berasal dari seorang pendeta dan isterinya. Kekeliruan itu menjadikan kemurkaan Dewa, hingga Pandu diambil oleh Dewa dengan badan kasarnya dan dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka (neraka). Tetapi dengan kesaktian Begawan Abyasa, disusullah Pandu dan diminta oleh Abyasa akan dibawa kembali ke dunia, tetapi para Dewa tak meluluskan, hanya Pandu diangkat ke Surga dan menjadi Dewa.

BENTUK WAYANG

Prabu Pandudewanata bermata, jaitan, hidung mancung, mulut rapat bersanggul kadal-menek, bersunting waderan. Tersebut dalam cerita, Pandu bercacat tengeng lehernya. Berkalung ular-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan putran.
Prabu Kuntiboja
Prabu Kuntiboja
Prabu Kuntiboja seorang raja di Madura nenek Pandawa: Yudistira, Wrekudara, dan Arjuna, dari garis keturunan ibu. Kuntiboja berasal keturunan dari raja di tanah India. Setelah datang ke Hastinapura oleh Raja Hastinapura dititahkan memerintah di negeri Boja, yang kemudian bernama, Madura. Negeri Madura di bawah perintah kerajaan Hastinapura.

BENTUK WAYANG

Prabu Kuntiboja bermata kedondongan, hidung dan muka serba lengkap berkumis dan berjanggut. Bermahkota, berjamang tiga susun dengan garuda membelakang, berpraba. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan raton.
Kunti
raja mandura dari bangsa yadawa mempunyai dua orang anak, yaitu basudewa dan dewi prita. basudewa ini nantinya akan mempunyai anak kresna, baladewa, dan sembadra. nah raja mandura ini mempunyai sepupu uaitu raja kunthiboja yang tidak memiliki keturunan. karena merasa kasihan raja mandura memberikan anaknya dewi prita ke raja kunthiboja sebagai anak. nah sejak itu dewi prita dikenal sebagai dewi kunti.

nah suatu saat di kerajaan kunthiboja datang tamu agung begawan druwasa, kunti kecil kemudian disuruh meladeni keperluan sang begawan. selama lebih setahun kunti menjadi “pesuruh” begawan druwasa. kunti meladeni segala keperluan begawan dengan iklas ceria dan sabar. begawan druwasa yang sakti kemudian merasa sangat sayang pada kunti yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. maka sang begawan memberikan mantra kepada kunti. ya mantra sakti pemanggil dewa, siapapun dewa yang dipanggil akan datang dan memberikan anak sesuai dengan keluhuran dewa yang bersangkutan. kunti kecil merasa sangat bergembira sekali.

maka tanpa setahu sang begawan, kunti mencoba merapalkan mantra tersebut. sebenarnya dia cuma coba coba sahaja. tapi hasilnya fatal. waktu itu kunta membaca mantram sambil menyebut dewa surya dewa pujaanya. maka “jreeng” datanglah dewa surya kehadapan kunti. dewa surya kaget karena ternyata yang memanggil dirinya adalah anak anak dibawah umur.
tapi sudah jadi ketetapan dewata, maka kunti mengandung anak dewa surya. kunti memohon memelas, karena takut diolok olok akibat kehamilan di luar nikah tersebut. karena merasa kasihan maka dewa surya mengeluarkan bayi di kandungan kunti melalui telinga. karena lahir lewat telinga maka keperawanan kunti tak hilang, dan karena itu pula maka bayi itu diberi nama karna yang artinya telinga.

karna lahir dengan rompi yang tak akan pernah tembus oleh senjata apapun wajah dan tubuhnya gilang gemilang oleh pancaran cahaya surya seperti ayahnya. namun karena malu, dan merasa bingung. anak itu dibuang oleh kunti ke sungai. ya inilah kesalahan besar kunti, sampai ahir hayatnya kunti menyesali hal ini. dan hukuman dewa atas perbuatanya adalah harus menyaksikan anaknya saling membunuh pada kemudian hari.
ketika sudah cukup umur maka diadakan sayembara untuk menikahkan kunti oleh prabu kuntiboja.nah yang memenangkan pertandingan ini adalah pandu dewanata dari hastina. konon ketika pulang, pandu dijegat oleh narasoma dari mandaraka, terjadilah perang tanding. karena sebelum perang narasoma berjanji jika menang kunti diambil dan jika kalah madrim adiknya diberikan pada pandu, maka karena kalah madrim pun diberikan kepada pandu.
di tengah jalan sengkuni menghadang, sama dengan narasoma, sengkuni bertanding dengan pandu dan kalah, maka gendari diberikan kepada pandu. tapi disini sengkuni memang berniat ikut jadi “penguasa” hastina liwat pernikahan gendari dan penguasa hastina.
sampai di hastina, para sesepuh hastina memebrikan saran supaya para puteri itu dibagi juga dengan kakaknya destarata. rupanya ke 3 putri itu tak mau nikah dengan destarata. kunti dan madrim berdoa siang malam, sementara sengkuni memandikan gendari dengan air amis, sehingga baunya amis bukan main. toh ahirnya justru gendari yang dipilih oleh destarata. konon karena destarata memang tak ingin menyakiti pandu, maka dia bermaksud pilih yang paling jelek, sayangnya hal ini membuat sengkuni dan gendari dendam pada pandu.
madim

Dewi Madrim atau Dewi Madri adalah putri Prabu Mandrapati, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Tejawati. Ia mempunyai kakak kandung bernama Narasoma, yang setelah menjadi raja Mandaraka bergelar Prabu Salya.
Dewi Madrim menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina dan menjadi permaisuri ke dua mendampingi Dewi Kunti. Dari perkawinan tersebut, ia berputra dua orang kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa. Dewi Madrim berwatak penuh belas kasih, setia, sabar dan Wingit.
Akhir riwayat Dewi Madrim diceritakan, ia terjun kedalam Pancaka (api pembakaran jenazah) ikut bela pati atas kematian suaminya, Prabu Pandu. Kedua putra kembarnya, Nakula dan Sadewa yang masih bayi kemudian diasuh oleh Dewi Kunti.
Destrarastra
Raden Destarata
Raden Destarata
Raden Destarastra anak Begawan Abyasa yang tertua ; ia buta. Destarastra ialah bapak Kurawa, mempunyai 100 orang anak, 99 laki-laki dan seorang puteri; yang demikian dalam bahasa Jawa disebut beranak satus selapan siji, artinya dalam seratus anak hanya terselip seorang puteri, atau berarti juga anak seratus itu, (karena banyak gundik) dilahirkan tiap-tiap 36 hari seorang anak, (dalam bahasa J. 36 hari disebut: selapan).
Destarasta mengangkat dirinya jadi raja di Hastinapura bernama Prabu Dastanegara, tetapi sebenarnya ia tak berhak menjadi raja, karena ia buta. Adapun yang berhak ialah Pandu, tetapi pada, waktu itu Pandu masih kanak, jadi Dastarasta hanya sebagai wakil sebelum Pandu dewasa. Tetapi karena kekuatan Kurawa negeri Hastinapura tak hendak dilepas menyebabkan Kurawa senantiasa bermusuhan dengan Pandawa (anak Pandu), hingga permintaan Pandawa hanya separuh negeri. itu saja tak dikabulkan juga oleh Kurawa.
Dastarastra setelah menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya, Duryudana, lalu menjadi pendeta dan sebagai penasehat kerajaan Hastinapura. Usianya lanjut hingga perang Baratayudha.

BENTUK WAYANG

Dastarastra bermata buta, akan tanda buta dapat terlihat pada biji matanya yang berupa putih tak dengan tanda hitam di tengahnya. Hidung mancung, mulut rapat. Bersanggul keling. Berjamang dengan sunting sekar kluwih, berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. kain bokongan raton.
Gandari

Dewi adalah putra Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung, masing-masing bernama ; Arya Sakuni, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Dewi Gandari menikah dengan Prabu Drestarasta, raja negara Astina, putra Prabu Kresnadwipayana/Bagawan Abiyasa dengan permaisuri Dewi Ambika. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 100 (seratus) orang anak, tetapi pada waktu lahirnya berwujud gumpalan darah kental, yang oleh Dewi Gandari dicerai beraikan menjadi seratus potongan, dan atas kehendak Dewata menjelma menjadi bayi Manusia.
Keseratus putra Dewi Gandari tersebut dikenal dengan nama Sata Kurawa. Diantara mereka yang terkenal dalam pedalangan adalah: Duryudana (raja negara Astina). Bogadatta, (raja negara Turilaya), Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dewi Gandari mempunyai sifat kejam dan bengis. Ia selalu mementingkan diri sendiri dan tidak segan-segan berkhianat serta pendendam. Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi penyebab utama kebencian anak-anaknya, Kurawa terhadap Pandawa. Ia mati terjun ke dalam Pancaka/api pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya perang Bharatayuda.
Widura
Raden Yamawidura
Raden Yamawidura
Raden Yamawidura putera Prabu Abyasa yang ketiga. la. mempunyai cacat, timpang (pincang) kakinya, tetapi sakti. Raden Yamawidura pernah diminta bantuan oleh Prabu Dipacandra raja di Pengombakan, buat melawan musuh. Setelah musuh itu dikalahkannya, ia dikawinkan oleh Prabu Dipacandra dengan puteri baginda yang bernama Dewi Padmarini.
Raden Yamawidura seorang bijaksana dan ahli hukum. Ia diangkat sebagai jaksa di negeri Hastinapura. Pada masa perang Baratayudha ia selalu menimbang suatu perkara, dengan adil tak memandang pada lawan atau kawan sendiri.
Menurut cerita, mengapa ketiga putera Prabu Abyasa masing-masing mendapat cacat, karena, waktu ibu Dastarastra melihat Prabu Abyasa yang pertama kali, ia takut, lalu menutup matanya, maka lahirlah putera yang kesatu Raden Dastarastra dengan buta matanya. Kedua, waktu ibu itu melihat Prabu Abyasa ia memalingkan muka, maka, lahirlah Pandu yang tengeng lehernya. Dan ketiga, waktu ibu Yamawidura melihat Prabu Abyasa ia akan lari maka Yamawidura timpang kakinya.

BENTUK WAYANG

Raden Yamawidura bermata jaitan, muka agak tenang, hidung mancung. Sanggul keling berjamang dengan garuda membeIakang dan sunting sekar kluwih. Berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan lebekan berong (J. benjo).
Ndwarawati

Kresna








Prabu Kresna
Prabu Kresna
Raden Narayana setelah menjadi raja bernama Prabu Harimurti Padmanaba, karena ia titisan Begawan Padmanaba. Disebut juga Prabu Dwarawati, karena menjadi raja di negeri Dwarawati, dan disebut juga Prabu Kresna, karena berkulit hitam dan lain-lain. la dapat bertahta di Dwarawati karena mengalahkan seorang raja raksasa bernama Prabu Kunjana Kresna di negeri tersebut, dan nama Kresna itu dipakainya juga sebagai namanya sendiri, yakni Prabu Kresna.
Prabu Kresna sebagai pengasuh Pandawa atau disebut dalang, ialah seorang yang pandai menjalankan siasat politik negara, peperangan dan lain-lain. Prabu Kresna mempunyai senjata cakra, senjata yang hanya dikuasai oleh titisan Wisnu, dan mempunyai azimat kembang Wijayakusuma, untuk menghidupkan orang mati, yang belum sampai pada takdirnya. Dalam perang Baratayudha Sri Kresna yang memegang daya upaya kemenangan Pandawa. Usia Prabu Kresna lanjut, hingga sehabis perang Baratayudha.
Sri Kresna berpermaisuri 4 puteri: 1) Dewi Jembawati, anak seorang pendeta kera Kapi Jembawan dipertapaan Gadamedana, berputera Raden Samba; 2) Dewi Rukmini, puteri Prabu Rukma, seorang raja di Lesanpura, berputra Dewi Siti Sundari; 3) Dewi Setyaboma, putri Prabu Setyajid, seorang raja di Lesanpura, dan berputra Raden Setyaka, dan 4) Dewi Pretiwi, putri Hyang Antaboga, berputra Prabu Bomanarakasura.
Prabu Kresna mampu bertiwikrama yaitu berganti rupa menjadi raksasa. Pada lakon Kresna gugah, yaitu Kresna sedang tidur dalam rupa raksasa (tiwikrama). Dalam cerita ini diriwayatkan bahwa siapa yang mampu membangunkan Sri Kresna akan memenangkan perang Baratayudha. Maka kedua belah pihak (Pandawa dan Kurawa) berusaha membangunkannya. Namun tindakan Kurawa sia-sia belaka. Hanya Arjuna yang dapat membangunkan Sri Kresna.

BENTUK WAYANG

Wayang Prabu Kresna bermuka hitam, sedangkan seluruh badan berpraba. Wayang ini untuk dimainkan pada waktu sore. Tetapi pada waktu hampir pagi berganti wayang yang bercat hitam seluruh badan.
Prabu Kresna berwanda: 1) Gendreh, karangan Sri Sultan Agung di Mataram, 2) Rondon, 3) Mawur.
Rokmini
Dewi Rukmini adalah putri sulung Prabu Bismaka / Arya Prabu Rukma, raja negara Kumbina dengan permaisuri Dewi Rumbini. Ia mempunyai adik kandung bernama Arya Rukmana dan saudara lain ibu bernama Dewi Rarasati/Dewi Larasati putri Arya Prabu Rukma dengan Ken Sagupi seorang swarawati keraton Mandura.
Dewi Rukmini menikah dengan saudara sepupunya, Narayana, putra Prabu Basudewa raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maerah (Jawa). Setelah Narayana berhasil merebut negara Dwarawati dari kekuasaan Prabu Narasinga, dan menobatkan diri sebagai raja Dwarawati bergelar Prabu Sri Bathara Kresna, Dewi Rukmini diangkat menjadi permaisuri. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 3 (tiga) orang putra masing-masing bernama: Saranadewa (berwujud raksasa), Partadewa dan Dewi Titisari/Sitisari, yang setelah dewasa menjadi isteri Bambang Irawan, putra Arjuna dengan Dewi Ulupi/Palupi.
Dewi Rukmini berwatak : penuh belas kasih, sabar, setia dan jatmika (selalu dengan sopan santun). Ia meningal dalam usia lanjut. Setelah Prabu Kresna mati moksa, ia bersama isteri Prabu Kresna yang lain, terjun ke dalam Pancaka (api pembakaran jenazah), bela pati menyusul suaminya kembali ke Nirwana.
Setyaboma

Dewi Setyaboma adalah putri sulung Prabu Setyajid / Arya Ugrasena, raja negara Lesanpura dengan permaisuri Dewi Wersini. Ia mempunyai adik kandung bernama Arya Setyaki yang setelah dewasa menjadi Senapati perang negara Dwarawati. Dewi Setyaboma juga mempunyai dua orang saudara lain ibu bernama Arya Pragota dan Arya Adimanggala, putra Arya Ugrasena dengan Ken Sagupi, swarawati keraton Mandura.
Dewi Setyaboma menikah dengan Narayana, saudara sepupunya sendiri, putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maerah (Jawa). Setelah Narayana berhasil merebut negara Dwarawati dengan membunuh Prabu Narasinga dan naik tahta bergelar Prabu Bathara Kresna, Dewi Setyaboma diangkat menjadi permaisuri, dari pernikahan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Arya Satyaka.
Dewi Setyaboma berwatak setia, jujur, jatmika (selalu dengan sopan santun) dan sangat berbakti terhadap suaminya. Setelah Prabu Kresna mati moksa, ia bersama istri Prabu Kresna yang lain, yaitu Dewi Rukmini yang masih saudara sepupunya terjun ke dalam Pancaka (api pembakaran jenazah) bela pati menyusul suaminya kembali ke Nirwana.

Jembawati

Dewi Jembawati adalah Putri tunggal Resi Jembawan (berwujud kera/Wanara) dari pertapaan Gadamadana, dengan Dewi Trijata, putri Gunawan Wibisana dengan Dewi Triwati (seorang hapsari/bidadari) dari negara Alengka/Singgela.
Sesuai janji Dewata kepada Dewi Trijata, ibunya, Dewi Jembawati dapat bersuamikan Prabu Kresna, raja negara Dwarawati, yang merupakan raja titisan Sanghyang Wisnu yang terakhir. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh dua orang putra bernama ; Samba, yang berwajah sangat tampan, dan Gunadewa, berwujud sebagai wanara / kera, karena garis keturunan dari Resi Jembawan.
Dewi Jembawati berwatak jujur, setia, sabar, sangat berbakti dan penuh belas kasih. Selama menjadi permaisuri Prabu Kresna, ia lebih sering tinggal di pertapaan Gadamadana mengasuh Gunadewa, daripada tinggal di istana Dwarawati. Ia meninggal dalam usia lanjut dan dimakamkan di pertapaan Gadamadana.
R Samba


Raden Samba, satriya ing Paranggarudha, uga akekasih raden Wisnubrata. Baguse ora njamak, awit wong-wong padha alok baguse kaya Samba, nadyan wong bagus sepirang-pirang. Kejaba misuwur bagus, ngandikane nggrecek, renyah, luwes, lan marak ati. Ana ing negara Dwarawati katengen dening Sang Prabu Kresna. Nadyan Prabu Kresna kagungan patih kang tanggon yaiku Udawa, nanging saben pisowanan kang diajak rembugan prakara negara ya mung Raden Samba.

Tembunge mangkene : “Sanadyan wong ing negara Dwarawati kene akeh sing sakepel gumbalane, sarta jembar dhadha bahune, nanging ora ana kang pantes sun ajak mbabati kang rungkut kajaba amung jeneng sira pribadi kulup”, mangkono pangandikane Sri Kresna marang Raden Samba.
Samba iku panjanmane Bathara drema, garwane Dewi Dremi widadari ing Kaendran. Amarga bathara Drema manjanma menyang madyapada, mangkono uga bathari Dremi uga manjanma ing madyapada, apeparab Dewi Hagnyanawati. Sarehne Dewi Hagnyanawati iku panjalmane bathari Dremi, ana ing madyapada mesthine kudu dadi garwane bathara Drema yaiku Samba. Nanging nyatane ora mangkono. Dewi Hagnyanawati malah dadi garwane Suteja, ya Prabu Boma, ya Bomantara utawaBomanarakasura, Ratu ing Trajutrisna. Jalaran panjanmane bathari Dremi salah alamat dadi garwane Prabu Boma, Samba kerep ngengleng ngalami gerah asmara, kagawa saka bangeting kasmaran marang Sang Dewi. Kasmaran kang ora nate kapadhan ing sih, marga bangeting adohe saka dununge Hagnyanawati saka Dwarawati, lan saka angele ambah-ambahane dalane menyang Praja Trajutrisna.
Pinuju ing sawijining wektu pasowanan njaba, Raden Samba den adhep ingkang paman Raden Harya Setyaki lan Patih Udawa. Lagya imbal wacana ing pagelaran, dene kang dirembug bab ketentremaning negara. Nanging ora ana dhawuh apa-apa, ora suwe pasowanan dibubarake. Gantya kawuwusa ing dina iku Samba nuruti ardaning napsune lungguh nglamun kelingan marang Dewi Hagnyanawati, dumadakan karawuhan Widadari Bathari Wilutama (Dewi Tilottama), ibune Haswatama.
Dewi Wilutama ngandika sumedya tetulung, saguh njujugake Samba menyang Trajutrisna ing wayah bengi, supaya bisa sapatemon lan pepasihan lawan Dewi Hagnyanawati. Nanging kesaguhane Dewi Wilutama iku mawa sarat mangkene : tindake Samba kudu ana ing ngarep, Dewi Wilutama ana ing mburi. Sajrone lumaku ana ing dalan, Samba babar pisan ora kena noleh wuri. Samba saguh netepi sarat mangkono mau, mula bengine sida dijujugake dening Sang Widadari Dewi Wilutama menyang Praja Trajutrisna. Tindake Samba ana ing ngarep, Dewi Wilutama ana ing wuri.
Nagara Trajutrisna iku dununge ana ing sajroning bumi, dalane peteng lelimengan. Nanging nalika semana, bareng Samba wis manjing ing bumi ngambah dalan menyang Trajutrisna ditut wuri dening Widadari Wilutama, dumadakan mak byar! Dalane katon padhang, lan saya suwe mundhak padhange. Bab iku kang gawe gumun ngunguning panggalihe Samba. Dheweke nggraita mangkene, “Apa baya kang sumorot anelahi madhangi dalan iki”. Samba ing batin kepingin banget sumurup barang apa sumorot madhangi dalan, nanging dheweke ora wani noleh memburi wedi didukani dening Dewi Wilutama. Saya suwe saya gedhe derenging panggalihe Samba nganti ora bisa ngendhaleni kepingine priksa wujude barang kang dadi tuking pepadhang. Await saka iku, Samba banjur noleh memburi, sanalika priksa Dewi Wilutama nglegena (wuda). Kang sumunar padhang iku murate Sang Dewi. Amarga Samba wani nerak wewalere Sang Dewi, wanuh wani noleh memburi, Widadari Wilutama duka tan sinipi. Samba disotake mangkene, “muga-muga sakpraptamu ing taman sari, sajroning lagi pepasihan klawan Dewi Hagnyanawati kawruhan dening Bomanarakasura kang banjur njejuwing sliramu”.
Sawise ngesotake mangkono, Dewi Wilutama banjur kondur marang kawidodaren. Wiwit Samba noleh memburi, banjur mak pet, peteng ndhedhet, pepadhang sanalika ilang, dalan menyang Trajutrisna dadi peteng ndumuk irung. Sanadyan mangkono, Samba meksa mbanjurake sedyane menyang Trajutrisna. Tindake kanthi gegrumutan, gagap-gagap dalan. Sapraptane ing Trajutrisna, Samba njujug ing taman sari. Panjenengane klakon sih-sinisihan karo Dewi Hagnyanawati ana ing Pantisari (omah ing tengahing taman sari).
Sajroning Samba lan Dewi Hagnyanawati kasengsem lagi padha sih-sinisihan, dumadakan Prabu Bomanarakasura lumebu ing taman sari, terus manjing ing Pantisari. Samba dicekel lan diprajaya sarana dijejuwing sarirane dening Prabu Bomanarakasura. Nanging ana carita liya kang nyebutake mangkene : Prabu Boma munggah ing Suralaya nedya ngendhih pangwasaning Dewa. Prabu Kresna pininta sraya dening dewa, ndikakake nanggulangi krodhane Prabu Boma. Paminta srayane dewa disaguhi dening Prabu Kresna. Prabu Kresna munggah ing kahyangan Suralayua perang lumawan Prabu Boma. Sadurunge ing bantala wis pinasang anjang-anjang, kionarya nadhahi punarpane Prabu Boma. Wusana sanjata cakra lumepas thel kena janggane, kwandha kesangsangh ing anjang-anjang, Prabu Kresna unggul ing yuda, Dewi Hagnyanawati dadi duwekke Samba.
Gunadewa
GUNADEWA

ARYAGUNADEWA adalah putra Prabu Kresna, raja negara Dwarawati dari permaisuri Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan dengan Dewi Trijata dari pertapaan Gadamadana. Ia mempunyai kakak kandung bernama Raden Samba/Wisnubrata. Gunadewa juga memiliki 6 (enam) saudara lain ibu, yaitu : Saranadewa (berujud raksasa), Partadewa dan Dewi Sitisari/Titisari (dari permaisuri Dewi Rukmini), Arya Setyaka (dari permaisuri Dewi Setyaboma), Bambang Sitija/Prabu Bomanarakasura dan Dewi Siti Sundari (dari permaisuri Dewi Pertiwi).

Tidak seperti kakaknya, Raden Samba yang bewajah sangat tampan sebagai titis Batara Derma, Gunadewa lahir berwujud kera sebagaimana wujud kakeknya, Resi Jembawan. Konon ia diyakini sebagai titisan Resi Supalawa, sahabat Batara Parikenan. Walau berjud kera, Gunadadewa dapat berbiacara dan beradat-istiadat sebagai manusia. Ia sangat tekun bertapa hingga memilki berbagaiimu kesaktian. Ia jugamenguasai berbagai ajaran Weda dan hidup sebagai brahmana bersama kakeknya, Resi Jembawan di pertapaan Gadamadana.

Gunadewa berumur sasngat panjang. Bersama Saranadewa, saudara lain ibu yang berudjud raksasa, mereka merupakan dua saudara yang tidak terlibat dalam perang gada sesama wangsa Yadawa yang memusnahkan semua keturunan Prabu Yadu. Gunadewa mati moksa dalam usia sangat lanjut.


R setyaka





Arya Setyaka adalah putra Prabu Kresna, raja negara Dwarawati dengan permaisuri Dewi Setyaboma, putri Prabu Setyajid/Arya Ugrasena dengan Dewi Warsini, dari negara Lesanpura. Ia mempunyai tujuh orang saudara seayah lain ibu, yaitu ; Samba dan Gunadewa (berwujud raksasa), dari permaisuri Dewi Jembawati, Saranadewa (berwujud raksasa), Partadewa dan Dewi Titisari/Sitisari, dari permaisuri Dewi Rukmini, Bambang Sitija/Bomanarakasura dan Dewi Siti Sundari, dari permaisuri Dewi Pretiwi.
Arya Setyaka tinggal di kesatiran Tambakwungkal. Ia menikah dengan Dewi Setiati, dan memperoleh seorang putra yang diberi nama Arya Susatya. Araya Setyaka mempunyai sifat dan perwatakan ; tenang, pemberani, baik tingkah lakunya dan sangat berbakti. Arya Setyaka tidak terlibat dalam perang Bharatayuda. Ia ditugaskan oleh ayahnya, Prabu Kresna untuk melayani Prabu Baladewa, raja negara Mandura yang bertapa di Grojogansewu.
Setelah berakhirnya perang Bharatayuda, Arya Setyaka kembali ke Dwarawati lalu pulang ke kesatrian Tambangwungkal. Ia tewas dalam peristiwa perang gada sesama keluarga Wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka (Mahabharata). Sedangkan menurut pedalangan Jawa, Arya Setyaka mati dibunuh Prabu Baladewa yang marah karena merasa dibohongi oleh laporan Setyaka yang selalu mengatakan bahwa perang Bharatayuda belum selesai.
P Boma





Bomanarakasura adalah putera Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi, ia sangat sakti. Dimanapun ia mati, bila tubuhnya tersentuh pada bumi ia dapat hidup kembali, hinega ia tak dapat dikalahkan. Dan juga ia bermusuhan dengan orang-orang Pandawa, pernah suatu ketika ia membunuh Raden Arjuna.
Kematian Arjuna ini, membuat murka Prabu Kresna, karena Prabu Kresna merasa berat kepada Pandawa: Maka Prabu Kresna mengatakan membunuh Prabu Boma. tetapi karena kesaktian. Prabu Boma itu, tak dapat dikalahkannya.
Maka teringatlah Prabu Kresna, bahwa adalah kematian Prabu Boma itu dirahasiakan oleh ibu Boma, Dewi Pertiwi. Prabu mendapatkan Dewi Pertiwi di Saptaputala, menanyakan pada Dewi Pertiwi rahasia tersebut.
Dewi Pertiwi tak keberatan menjawab pertanyaan Prabu Kresna itu, sebab yang bertanya itu ramanda Prabu Boma sendiri. Sepeninggal Prabu Kresna, Dewi Pertiwi merasa menyesal telah membuka rahasia kematian puteranya itu.
Benar, lantaran Prabu Kresna membela pihak Pandawa, yang Pandawa itu terhitung juga musuh Boma, maka berangkatlah Prabu Kresna dengan Prabu Boma itu. Pada waktu Prabu Boma perang berkendara seekor burung garuda bermuka raksasa bernama Wilmuka, burung itu dapat juga membantu berperang, ia dapat mematuk dan memupuh, tetapi kemudian Prabu Boma dan kendaraannya telah mati bersama-sama karena dipanah dengan Cakra oleh Prabu Kresna dan mayat Prabu Boma jatuh di jala-jala hingga tak mengenai bumi. Habislah riwayat Prabu Bomanarakasura.
Mula-mula Prabu Boma waktu masih anak-anak bernama Bambang Sutija. Setelah dewasa. Bambang Sutija menanyakan ramandanya pada ibu, setelah diterangkan bahwa ia adalah putra Sri Kresna, pergilah Bambang Sutija ke negeri Dwarawati, negeri Prabu Kresna.
Lantaran kesaktian Bambang Sutija, ia diminta oleh Dewa untuk membunuh seorang raja di negeri Trajutrisna. Pergilah Bambang Sutija ke negeri Trajutrisna, perang dengan raja dinegeri itu bernama Prabu Bomantara, Bambang, Sutija dapat mengalahkan Prabu Bomantara, lalu kemudian badan halus Prabu Bomantara masuk ke Bambang Sutija, kemudian Bambang Sutija menjadi raja di Trajutrisna. bernama Prabu Bomanarakasura.

BENTUK WAYANG

Prabu Boma bermata telengan, hidung dempak, berjamang tiga susun, berpraba. Kain kerajaan lengkap.
Putu Ndwaraka
Dwara

Patih Harya Dwara adalah Patih Prabu Parikesit di negeri Hastinapurapura. la seorang yang bijaksana, dapat menjaga kehendak rajanya, apa yang dikehendaki oleh rajanya, dapat dipenuhinya, pun hal tatanegara tak rnengecewakan. Pada waktu Prabu Parikesit berkehendak menangkap binatang hutan, ia dapat membawa segala, binatang hutan itu kehadapan baginda.

BENTUK WAYANG

Patih Dwara bermata kedondongan, hidung mancung, dengan menyatukan tangan untuk tanda hormat (Jawa: ngapurancang). Bergelung keling dan berjamang dengan garuda membelakang. Kalung bulan sabit. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain putran (kesatria).
MANDURA
Baladewa










Baladewa adalah salah satu tokoh yang muncul dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi tokoh netral dalam wiracarita Mahabharata.Baladewa adalah putera Basudewadan Dewaki. Ia adalah kakak dari Kresna dan Dewi Subadra (istri Arjuna). Ia memiliki watak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Baladewa memiliki dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. 





Baladewa sebenarnya adalah kakak kandung Kresna, putera Basudewa dan Dewaki. Namun ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin. Dikisahkan, Kamsa, kakak Dewaki takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan putera kedelapan Dewaki. Oleh karena itu, ia menjebloskan Dewaki dan suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan Dewaki.

Saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, takdir berkata lain, bahwa anak yang kelak dilahirkannya ini tidak akan mati di tangan Kamsa. Maka secara ajaib janin itu pindah ke rahim Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa juga memiliki nama lain yaitu Sankarsana yang berarti “pemindahan janin”.

Pada masa kecilnya, baladewa bernama Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia disebut Balarama atau Baladewa (bala=kuat). Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna. Ia menikah denganReawati, puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa dalam Mahabharata terkenal sebagai pengajar Doryudana dan Bima dalam menggunakan senjata gada. Saat perang diKurukhsetra, Baladewa tidak turut serta, ia lebih memilih menjadi pihak yang netral. Namun, ketika Bima hendak membunuh Doryudana, ia mengancam akan membunuh Bima,namun hal itu dapat dicegah oleh adiknya, Kresna. Kresna menyadarkan bahwa Bima membunuh Doryudana untuk memenuhi sumpahnya. Kresna juga mengingatkan Baladewa akan segala keburukan Doryudana.
Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Waktu mudanya Prabu Baladewa bernama Kakasrana. Ia adalah putera Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan Dewi Mahendra atau Maekah. Ia memiliki saudara lain ibu bernama Dewi Subadra yang menjadi istri Arjuna, puteri Prabu Basudewa dengan Dewi Badrahini. Baladewa juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putera Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi.
Saat mudanya, Baladewa pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya dan bergelar Wasi Jaladra. Ia menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati. Dari perkawinan itu, ia dikaruniai dua orang putera bernama Wisata danWimuka.
Saat perang Bharatayuddha, Prabu Baladewa sebenarnya memihak Korawa, namun dengan siasat Kresna, Baladewa tidak ikut dalam peperangan, ia justru bertapa di Grojogan Sewu. Kresna meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu, dan ia berjanji akan membangunkannya jika Bharatayuddha terjadi. Sebenarnya tujuan Kresna adalah agar Baladewa tidak mendengar saat perang Bharatayuddha terjadi, karena bila Baladewa ikut dalam peperangan, Pandawa pasti kalah karena Baladewa sangat sakti. 
Ada yang mengatakan Baladewa adalah titisan naga, namun ada pula yang meyakini bahwa ia adalah titisan Sanghyang Basuki,  Dewa keselamatan. Baladewa berumur panjang, ia menjadi pamong dan penasihat Prabu Parikesit, raja Hastinapura yang menggantikan Prabu Puntadewa. Baladewa mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.


sumber;http://dalang666.blogspot.com/2011/09/baladewa.html


Erawati

Dewi Erawati adalah putri sulung Prabu Salya raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat saudara kandung masing-masing bernama; Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata.
Dewi Erawati menikah dengan Prabu Baladewa/Kakrasana, raja negara Mandura, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Ped. Jawa). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Winata dan Wimuka/Wilmuka.
Dewi Erawati berwatak; penuh belas kasih, setia, sabar dan wingit. Ia dan suaminya hidup tenang dan bahagia sampai masa sesudah perang Bharatayuda. Hal ini karena mereka sekeluarga berada di luar pertikaian keluarga Kurawa dan keluarga Pandawa yang meletus dalam perang Bharatayuda.
wisata

Wisata

WISATHA adalah putra sulung Prabu Baladewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Erawati, putri sulung Prabu Salya dari negara Mandaraka. Ia mempunyai adik kandung bernama Wimuka.

Wisata beparas tampan. Tidak seperti ayahnya yang berwatak keras hati dan mudah naik darah, Wisata mempunyai sifat dan perwatakan ; pemberani, cerdik pandai, baik tingkah lakunya dan besar rasa tanggung jawabnya. Seperti ayahnya, Prabu Baladewa, Wisata juga pandai dalam ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan. Ia juga pandai dalam olah keprajuritan, khsusunya dalam mempegunakan senjata gada.

Wisata tidak ikut terjun dalam perang Bharatayuda, karena keluarga Mandura bersikap netral dalam pertikaian antara keluarga Kurawa dan Pandawa. Setelah berakhirnya perang Bharatayuda, Wisata dinobakan menjadi raja negara Mandura, menggantikan ayahnya, Prabu Baladewa yang dalam usia lanjut menjadi pengasuh dan penasehat Prabu Parikesit, di negara Astina, begelar Resi Balarama.

Akhir riwayat Wisata diceitakan: Ia ikut tewas dalam peristiwa perang gada sesama wangsa Yadawa, yang membinasakan semua keturunan wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka, keturunan Prabu Yadu, pendiri negara Mandura dan cikal-bakal Wangsa Yadawa.

Wimuka

WIMUKA


  WIMUKA adalah putra kedua Prabu Baladewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Erawati, putri sulung Prabu Salya dari negara Mandaraka. Ia mempunyai kakak kandung bernama Wisata.
Wimuka beparas cakap. Ia banyak mewarisi watak ayahnya yang keras hati dan mudah naik darah. Wimuka memiliki sifat pemberani, cerdik pandai dan besar rasa tanggung jawabnya. Selain pandai dalam olah keprajuritan khusunya dalam mempergunakan senjata gada dan lembing, Wimuka juga pandai dalam ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan.
Wimuka tidak ikut terjun dalam perang Bharatayuda, karena keluarga Mandura bersikap netral dalam pertikaian antara keluarga Kurawa dan Pandawa. Setelah berakhirnya perang Bharatayuda, Wimugka mendampingi kakaknya, Wisata yang menjadi raja negara Mandura. – Wisata dinobatkan menjadi raja Mandura menggantikan ayahnya, Prabu Baladewa yang dalam usia lanjut menjadi pengasuh dan penasehat Prabu Parikesit, di negara Astina, begelar Resi Balarama.
Akhir riwayatnya diceitakan: Wimuka ikut tewas dalam peristiwa perang gada sesama wangsa Yadawa, yang membinasakan semua keturunan wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka, keturunan Prabu Yadu, pendiri negara Mandura dan cikal-bakal Wangsa Yadawa. (Ilmu Warisan Leluhur) 

Pragota

Arya Pragota konon adalah putra Arya Ugrasena yang setelah naik tahta negara Lesanpura bergelar Prabu Setyajid, dengan niKen Sagupi, seorang swarawati Keraton Mandura. Setelah Ken Sagupi dikawinkan dengan Antagopa, seorang gembala dan tinggal di kabuyutan Widarakanda/Widarakandang, Arya Pragota dianggap sebagai putra Ken Sagupi dengan Antagopa.
Arya Pragota mempunyai adik kandung bernama Arya Adimanggala yang menjadi patih Adipati Karna di negara Awangga. Selain itu dari garis keturunan Arya Ugrasena, ia mempunyai dua orang saudara bernama; Dewi Setyaboma (istri Prabu Kresna) dan Arya Setyaki. Sedangkan dari garis keturunan ibunya, Ken Sagupi, selain Arya Adimanggala ia mempunyai dua orang saudara, yaitu; Arya Udawa, putra Ken Sagupi dengan Prabu Basudewa, dan Dewi Rarasati/Larasati, putri Ken Sagupi dengan Arya Prabu Rukma.
Arya Pragota mempunyai perawakan tinggi besar dan gagah. Suaranya lantang, senang bergurau, kalau bicara disudahi dengan gelak tawa yang berderai. Ia menjadi patih negara Mandura mendampingi Prabu Baladewa.
Akhir riwayatnya diceritakan; Arya Pragota tewas dalam peristiwa perang gada antara keluarga sendiri Trah Yadawa, Wresni dan Andaka, setelah selesainya perang Bharatayuda.

prabowo


Arya Prabowo konon adalah putra Arya Ugrasena yang setelah naik tahta negara Lesanpura bergelar Prabu Setyajid, dengan niKen Sagupi, seorang swarawati Keraton Mandura. Setelah Ken Sagupi dikawinkan dengan Antagopa, seorang gembala dan tinggal di kabuyutan Widarakanda/Widarakandang, Arya Pragota dianggap sebagai putra Ken Sagupi dengan Antagopa.
Arya Pragota mempunyai adik kandung bernama Arya Adimanggala yang menjadi patih Adipati Karna di negara Awangga. Selain itu dari garis keturunan Arya Ugrasena, ia mempunyai dua orang saudara bernama; Dewi Setyaboma (istri Prabu Kresna) dan Arya Setyaki. Sedangkan dari garis keturunan ibunya, Ken Sagupi, selain Arya Adimanggala ia mempunyai dua orang saudara, yaitu; Arya Udawa, putra Ken Sagupi dengan Prabu Basudewa, dan Dewi Rarasati/Larasati, putri Ken Sagupi dengan Arya Prabu Rukma.
Arya Prabowo mempunyai perawakan tinggi besar dan gagah. Suaranya lantang, senang bergurau, kalau bicara disudahi dengan gelak tawa yang berderai. Ia menjadi patih negara Mandura mendampingi Prabu Baladewa.
Akhir riwayatnya diceritakan; Arya Prabowo tewas dalam peristiwa perang gada antara keluarga sendiri Trah Yadawa, Wresni dan Andaka, setelah selesainya perang Bharatayuda.
WIDARA KANDANG
Udawa




Arya Udawa konon adalah putra Arya Basudewa yang setelah naik tahta negara Mandura bergelar Prabu Basudewa, dengan Ken Sagupi/Sagopi, seorang swarawati Keraton Mandura. Setelah Ken Sagupi dikawinkan dengan Antagopa, seorang gembala dan tinggal di Kabuyutan Widarakanda/Widarakandang (Jawa), Arya Udawa dianggap sebagai putra Ken Sagupi dengan Antagopa.
Dari garis keturunan Prabu Basudewa, Arya Udawa mempunyai saudara tiga orang masing-masing bernama: Kakrasana dan Narayana, putra Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Mahendra/Maerah, serta Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng,putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Sedangkan dari garis keturunan ibunya, Ken Sagupi, ia mempunyai tiga orang saudara, yaitu; Arya Pragota dan Arya Adimanggala, kedua putra Ken Sagupi dengan Arya Ugrasena, serta Dewi Rarasati / Larasati, putri Ken Sagupi dengan Arya Prabu Rukma.
Udawa menikah dengan Dewi Antiwati. Putri bungsu Arya Sakuni, patih negara Astina dengan Dewi Sukesti. Ia mempunyai watak sangat setia, pendiam dan suka mengalah. Dalam segala hal ia tak pernah jauh dengan Narayana. Ketika Narayana menjadi raja Dwarawati bergelar Prabu Bathara Kresna, Arya Udawa diangkat menjadi patih negara Dwarawati.
Akhir riwayatnya diceritakan, Arya Udawa tewas dalam peristiwa perang gada antara keluarga sendiri Trah Yadawa, Wresni dan Andaka, setelah selesainya Perang Bharatayuda.

Lesan Pura
Setyaki

Raden Setyaki putera Prabu Setyajid di Lesanpura, ia juga bernama Wresniwira karena merupakan putra Dewi Wresni, dan disebut juga kesatria Lesanpura. Walaupun Setyaki adalah putra mahkota yang akan menggantikan ayahandanya untuk memerintah di Lesanpura, tetapi ia memilih untuk pergi meninggalkan negerinya dan mengikuti iparnya, Prabu Kresna di Dwarawati, yang merupakan seorang titisan Betara Wisnu.
Di negeri Dwarawati Setyaki dianggap sebagai pahlawan, dan karena kesaktiannya, ia mendapat julukan Bimakunting, artinya Sang Bima (Bratasena) yang kerdil.Dalamperang Baratayuhda, Setyaki membinasakan banyak musuh dengan senjata, gadanya. Setyaki lanjut usianya hingga setelah perang Baratayudha.

BENTUK WAYANG

Raden Setyaki bermata kedondongan, hidung dan mulut semada, berkumis. Berkadal-menek, berjamang dengan garuda membelakang. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkalung bulan sabit. Kain kerajaan lengkap.
Setyaki berwanda 1 Mimis, 2 Wisuna dan 3 Kakik.
Sanga Sanga

Arya Sangasanga atau Jaya Sangasanga (pedalangan Jawa) adalah putra Arya Setyaki dari negara Lesanpura, dengan Dewi Garbarini, putri Prabu Garbanata, raja negara Garbaruci. Ia seorang prajurit yang sangat berani, gagah perkasa dan pantang mundur.
Arya Sangasanga dalam segala hal bertindak serba adil dan jujur. Bicaranya singkat, tegas dan serba penting, mencerminkan wataknya yang berjiwa prajurit. Dalam usia muda ia dinobatkan menjadi raja negara Lesanpura menggantikan kedudukan kakeknya, Prabu Setyajid/Arya Ugrasena yang tewas dalam peperangan melawan Prabu Bomanarakasura raja negara Surateleng/Prajatisa. Ia menikah dengan Dewi Kawati, putri Arya Nirbita, patih negara Wirata. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra yang diberi nama; Arya Nabantara.
Arya Sangasanga ikut terjun ke medan perang Bharatayuda membela keluarga Pandawa. Karena jasanya, setelah perang Bharatayuda berakhir, ia diangkat sebagai senapati perang negara Astina di bawah pemerintahan Prabu Parikesit. Jabatan raja negara Lesanpura kemudian ia serahkan kepada putranya, Arya Nabantara.
Akhir riwayatnya diceritakan, Arya Sangasanga ikut tewas dalam peristiwa perang gada sesama Wangsa Yadawa, yang membinasakan semua keturunan Wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka.
SENGKAPURA
Kangsa

Kangsa, sering pula disebut Kangsadewa sesungguhnya putra Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang beralih rupa menjadi Prabu Basudewa dan berhasil bermain asmara dengan Dewi Mahira/Maerah (Jawa), permaisuri Prabu Basudewa, raja Mandura. Ia lahir di negara Bombawirayang, dan sejak kecil hidup dalam asuhan ditya Suratrimantra, adik Prabu Gorawangsa.
Setelah remaja, oleh Suratrimantra, Kangsa dibawa ke negara Mandura untuk menuntut haknya sebagai putra Prabu Basudewa. Karena sangat sakti, Prabu Basudewa akkhirnya bersedia mengakui Kangsa sebagi putranya dan diberi kedudukan Adipati di Kesatrian Sengkapura Kangsa berwatak angkara murka, ingin menangnya sendiri, penghianat, keras hati, berani dan selalu menurutkan kata hatinya.
Dengan dukungan Suratimantra, pamannya yang sakti, Kangsa berniat merebut tahta kekuasaan negara Mandura dari tangan Prabu Basudewa. Pemberontakan Kangsa gagal. Ia mati terbunuh dalam peperangan melawan Kakrasana dan Narayana, putra Prabu Basudewa dari permaisuri Dewi Mahendra/Maekah (Jawa). Sedangkan Suratimatra tewas melawan Bima/Werkudara, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti
Kadang bayu
Kadang Bayu atau Kadang Tunggal Bayu adalah sebutan bagi murid-murid Batara Bayu, sosok yang tentunya mempunyai ajian-ajian ataupun sandangan yangmemper, berkuku pancanaka dan terlahir sebagai titisan dewa angin. Dalam pewayangan jawa yang termasuk Kadang Tunggal Bayu adalah Anoman (Bayu Kinara), Ditya Jajakwreka (Bayu Anras), Bima (Bayu Mangkurat), Resi Maenaka(Bayu Langgeng), Liman Setubanda (Bayu Kanetra), Naga Kuwera, Garuda Mahambira, dan Macan Palguna. Dua tokoh lagi, yaitu Dewa Ruci dan Batara Bayu, bisa kita sebut sebagai tetungguling kadang bayu.


Tokoh Sabrangan
Magada
Prabu Jarasanda 



Prabu Jarasanda adalah raja negara Magada. Ia masih keturunan Prabu Darmawisesa, raja raksasa dari negara Widarba. Karenanya berbadan tinggi besar, gagah, perkasa dan berwajah setengah raksasa.
Prabu Jarasanda berwatak angkara murka, ingin menangnya sendiri, penganiaya, bengis, keras hati, berani serta selalu menurutkan kata hatinya. Ia sangat sakti, dengan dukungan sahabat karibnya yang juga sekutunya, Prabu Supala raja negara Kadi, Prabu Jarasanda berkeinginan menjadi raja besar yang menguasai jagad raya.
Untuk memenuhi ambisinya, Prabu Jarasanda bermaksud menyelenggarakan persembahan darah seratus orang raja kepada Bathari Durga. Karena niat jahatnya itu bertentangan dengan kodrat hidup dan dapat merusak ketentraman jagad raya, maka ia harus berhadapan dengan Bathara Wisnu. Prabu Jarasanda akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Bima/Werkudara. Tubuhnya hancur terkena hantaman gada Rujakpala.
Hamsa & Dibaka


supala



Arya Supala adalah putra Prabu Kandiraja, raja negara Kadi. Ia mempunyai cacad tubuh sejak lahir. Bertangan empat, berkaki empat, dan bermata tiga, satu mata berada di tengah dahi. Wangsit dewata yang diterima Prabu Kandiraja, cacad Supala hanya dapat disembuhkan oleh tangan Dewa Wisnu, tapi di tangan penyembuhnya itulah hidup mati Supala berada.Cacad tubuh Supala akhirnya dapat disembuhkan oleh Narayana/Prabu Kresna, putra Prabu Basudewa dengan Dewi Mahindra dari negara Mandura. Saat itu Narayana berjanji tidak akan membunuh Supala sampai Supala menghina dan merendahkan martabatnya di hadapan seratus raja.
Setelah dewasa, Supala menjadi raja negara Kadi menggantikan kedudukan ayahnya. Ia menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Prabu Jarasanda, raja negara Magada. Supala berwatak; angkuh, keras hati, pandai bicara dan selalu menuruti kata hati.
Akhir riwayatnya diceritakan, Supala tewas oleh Prabu Kresna. Kepalanya hancur terkena hantaman senjata Cakra, akibat dari kelancangan Supala menghina dan merendahkan martabat Prabu Kresna di hadapan lebih dari 100 raja yang hadir dalam acara Sesajirajasuya, pesta besar penobatan Puntadewa menjadi raja negara Amarta.
Trigarta
susarma

Prabu Susarma adalah raja negara Trigarta. Bertubuh besar dan berwajah setengah raksasa. Konon ia masih keturunan Prabu Nilarudraka dari negara Gluguhtinatar.
Prabu Susarma pernah berselisih dengan Prabu Matswapati dari negara Wirata. Akibatnya negara Trigarta diserang dan diobrak-abrik oleh Rajamala, senapati perang negara Wirata yang juga adik ipar Prabu Matswapati. Prabu Susarma kalah dan menyatakan takluk kepada Rajamala.
Setelah Rajamala tewas terbunuh oleh Jagalabilawa/Bima, Prabu Susarma bersengkongkol dengan Prabu Duryudana, raja negara Astina untuk menyerang negara Wirata. Prabu Duryudana ingin membongkar persembunyian keluarga Pandawa di negara Wirata, sedangkan Prabu Susarma ingin balas dendam atas perbuatan Rajamala. Dalam penyerbuan tersebut, Prabu Susarma mati oleh Jagalabilawa/Bima.

NB *** NYUWUN NGAPUNTEN MENAWI WONTEN LEPAT IPUN CONTO( MBOTEN TERCANTUM SUMBER LAN GAMBAR WAYANG KURAWA)